Sabtu, 27 Juli 2013

Malam Berdarah

Hari ini aku mau share sebuah cerpen. Setelah keliling kota, benua dan samudera dengan browsing internet akhirnya kutemukan juga genrenya, yaitu Thriller. Lansung saja kita intip cerita pendek (cerpen) terbaru karya Justang yang berjudul "Malam Berdarah".

Pengarang: Justang
Judul: Malam Berdarah
Genre: Thriller
Part: 1
Tanggal pembuatan: 27 Juli 2013
Tempat pembuatan: Watampone, Sulawesi Selatan

Malam Berdarah

Malam ini adalah malam yang gelap. Bukan karena sang rembulan sedang cuti tuk mengggantikan matahari bersinar di malam ini atau bintang yang sedang tidak memiliki mood untuk kumpul di langit. Mereka semua masih di atas sana, setia tak seperti kekasihku si kuncir yang kini pergi tanpa ucapan "goodbye". Ia hanya meninggalkan bercak-bercak merah.

Kejadian itu terjadi di suatu malam. Malam yang sangat aneh, sepi dan tak seperti malam biasanya. Anjing pun yang biasa setia melolong hingga fajar muncul, tak terdengar lagi suara merdunya itu. Meskipun demikian, aku dan kekasihku tak pupus untuk tetap menikmati keremajaan kami di malam itu.

Seperti hari-hari biasanya, kami selalu kencan pada jam 12 larut malam. Mungkin untuk beberapa orang itu terdengar aneh tapi menurut kami bahwa itu adalah waktu yang indah dan begitu spesial. Suasana lebih damai dan tenang untuk melakukan gairah bercinta.

Kami kencan tepat di atas atap rumahku dengan beberapa perabotan rumah yang berserakan. Persis menghadap pada loteng dengan jendela kecil di depannya. Saat kencan, udara bersuhu sangat rendah. Aku dingin dan badanku menggigil. Angin malam saat itu seakan menembus kulitku yang hanya tertutupi kemeja dan singlet di dalamnya. Selain dinginnya malam, beberapa botol anggur juga meramaikan suasana bercinta kami.

“Sayang, anggur lagi? Aku bosan akhh!” kata kekasihku jemu dengan nada menggoda.
“Akhh, sekarang beda sayang. Anggur malam ini ada banyak rasa, ada rasa jeruk lemon dan coklat pasta. Pasti tidak bosan dan apalagi sudah aku tambahkan campuran arak.”

Kutatap wajahnya dan sudah tak jemu lagi. Garis lengkung ke bawah terlukis di wajahnya dan hal itu mampu menghangatkan hatiku yang dibekukan malam. Hmhm, tiba-tiba aku tersadar ketika jarum jam yang tercipta di benda yang melingkari tanganku terlihat telah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Aku merasa itu adalah waktu yang tepat untuk menikmati indah dunia.

Sebelum itu, tradisi setiap kami ingin melakukan hubungan cinta tak kami lupakan. Beberapa botol anggur terlebih dahulu kami tenggak bersama. Mengucap janji sukma yang terus menghantam pendengaranku.

Usai tradisi dilakukan, mulai kupersiapkan diriku. Kubuka perlahan satu persatu kancing kemejaku. Kekasihku pun ikut melepaskan sweter yang membungkus badannya, menyisahkan baju merah tipis tanpa lengan. Semua kancing sudah kubuka namun kemeja tetap kubiarkan membungkus terbuka.

Wuss! Angin datang memblokade tubuhku. Menyerang celah-celah kemeja yang terbuka. Membuatku jatuh terlentang dan menerpa lapisan atap. Sepertinya efek anggur itu mulai menjalar di tubuhku. Perlahan mulai terasa pening dan hilang kesadaran. Lalu kucoba untuk bangkit bertumpu pada kaki secara perlahan. Ketika berhasil dan menegakkan tubuh, setengah sadar kulihat seorang berkuncir dengan wajah gelap. Ia seperti bayangan. Samar-samar kulihat wajahnya. Kutahu bahwa dia adalah manusia.

“Mana kekasihku?” teriakku bertanya pada orang itu. Ia hanya diam seraya memegang palu di tangan kanannya. Lalu ia mencoba memalingkan palu itu berusaha mengenaiku. Aku berhasil menghindar dan lagi aku terjatuh terkapar ke lapisan atap itu.

Kemudian ia mengambil sebuah golok yang tepat berada di belakang ia berdiri. Aku pun mencoba lagi bangkit dan berdiri sempoyongan. Sekali lagi, ia mencoba mengarahkan golok itu ke arahku. Namun, sebelum sempat ia melakukan itu. Segera aku memukulnya dengan botol anggur. Goloknya terjatuh dan ia mulai tampak pusing. Kutendang tubuhnya dan membuatnya jatuh terkapar di atas atap.

Saat kuketahui bahwa dia telah bergeletak tak berdaya dengan darah yang merembes di kulit kepalanya. Aku rasa itu adalah kesempatan besar bagiku. Kuambil golok yang sebelumnya ia genggam. Mengarahkan padanya untuk segera menusuk perutnya. Ia sukses menghindar dengan menggulingkan tubuh. Kemudian ia menyepak kakiku dan membuatku terjatuh dan menerpanya.

Kini aku tepat berada di atasnya dan kucoba untuk meninju mukanya. Aku yakin aku berhasil membuatnya membiru meski gelap dan hitam menutupi wajahnya yang masih aku tak tahu tentang orang itu. Tidak ingin kalah dariku, ia terus menyikuku dan membuatku mengguling dan berganti ia di atasku.

Lanjut kuputar tubuhku dan membuat kita berguling-guling hingga ke ujung atap dan akhirnya terjatuh ke tanah dengan keras. Aku tepat menghantam bongkahan tanah dengan punggung terlebih dahulu. Sementara orang itu menyerang tumpukan batu dan segera menjerit dengan lantang. Tak lama, golok yang sebelumnya kita gunakan juga terjatuh dan pas berdiri tegak menusuk perut orang itu. Darah terciprat keluar dari mulutnya.

Selagi punggung masih kutahan sakitnya. Aku mencoba lagi bangkit tersakit-sakit. Perlahan dan hasilnya aku berdiri terbungkuk sedikit serta terus kutekan punggungku. Saat mulai kutegakkan tubuhku, orang itu malah melempariku pisau dapur dan ujungnya persis menembus singlet putih tepat di dadaku. Aku jatuh tergeletak tak berdaya dan darah terus menetes keluar. Aku merintih kesakitan. Tiba-tiba gunting rumput terjatuh dari atap dan kembali mengenai tubuh orang itu tepat pada lehernya. Darah kembali terciprat dan cipratannya mengenaiku. Tampaknya orang itu tewas seketika.

Usai itu, suhu tubuhku mulai dingin membeku. Wajahku memucat. Darah yang masih menetes keluar dari tubuhku juga ikut dingin. Di tengah separuh sadar ini, kulihat dengan mata yang mulai sayup dua orang datang menghampiri kami. Suara keributan kami mungkin mengundangnya datang. Orang yang satu menghampiriku dan yang satu lagi menghampiri orang yang kuajak ribut tadi.

“Akhh, wanita berbaju merah ini telah tewas. Nadinya tak terasa lagi,” teriak orang yang menghampiri orang tadi.

Orang yang menghampiriku lalu menyentuh tanganku, memeriksa urat nadi. Kemudian mengarahkan tangannya ke mulutku dan merasakan napasku masih mendesah. Lalu ia teriak segera bermaksud memberitahukan temannya kalau aku masih hidup. Ketika teriakannya selesai, seketika itu aku sudah tak sadarkan diri.

(lihat juga: Malam Berdarah 2 : Balas Dendam)


Related Story for Cerita Bersambung ,Fiksi ,Thriller

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL