Selasa, 13 Agustus 2013

Cerpen Petuah pada Korupsi

Pengarang: Justang
Judul: Petuah pada Korupsi

Berasa jemu mendesak benak ketika penat harus terus menatap siaran berita yang berisi itu-itu saja. Korupsi. Puluhan pejabat yang mengaku dirinya agung pada tahta mereka tak pernah jera sekalipun untuk terus menikmati uang suapan. Uang para rakyat yang telah menanggung derita petingginya.

Ibuku sudah merasa geram dengan perlakuan mereka. Mau dibawa kemana negeri ini jika di dalamnya hanya menampung orang-orang yang tak tahu malu mencuri uang rakyat? Korupsi seakan telah menjadi budaya nasional yang tak pernah jemu merasuki negeri ini.

Bahkan hingga sekarang ketika ibuku sudah terambang sakit, merintih dan tak berdaya di atas ranjang biru rumah sakit terus memohon padaku tak mengikuti jejak para penghuji jeruji besi itu. Dia bahkan rela mati jikalau uang yang digunakan untuk menyembuhkannya adalah hasil korupsi. Aku pun menggenggam erat petuah ibuku itu.

Hari ini jadwalku untuk membesuk ibu di rumah sakit. Aku ingin mengetahui kondisi terakhirnya ketika ia telah divonis menderita penyakit kanker payudara. Aku sangat kasihan ketika harus melihat ia terus menyeret penderitaanya hingga ke ruang perawatan. Apalagi dia adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki karena anak tunggal dan ayah telah meninggal lama karena kanker otak. Sementara sanak saudara lainnya entah ke mana perginya.

“Pak, Ibu Ambar itu ibu Anda?” tanya seorang dokter pria berpakaian seragam putih rapi bersih ketika melihat aku berjalan menuju ruang ibuku dengan tergesa-gesa. Ya, dia pasti sudah tahu karena aku telah sering mengunjungi ibuku sejak masuk seminggu kemarin.
“Benar. Bagaimana kondisinya sekarang?”
“Begini Pak, ibu Anda harus segera dioperasi karena kondisinya makin kesini makin tak karuan. Jika tidak segera dilakukan,” dokter itu diam sejenak dan aku menahan napas khawatir pada ibu. “Saya khawatir ibu Anda tak akan selamat,”

Aku mendesah. Menundukkan kepala. Aku tak tahu harus bagaimana. Mengingat biaya operasi itu sangatlah mahal. Tak cukup meski terus kukorek kantongku sedalam-dalamnya. Aku hanya seorang pegawai biasa yang bergaji minim. Membiayai ibu masuk ke rumah sakit tanpa operasi saja terasa sudah berat. Hmmm, Akhhhh.

“Dok, nanti aku hubungi lagi soal biaya operasinya,” kataku lalu segera berjalan menuju ruang perawatan ibuku.

Sehabis dari menjenguk ibu. Segera kutinggalkan rumah sakit menuju kantor. Ketika tiba, seorang pria berperawakan rendah, badan gemuk besar dan dengan kumis tebalnya merangkai di atas bibir berdiri di depan pintu tempat kerjaku.

“Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku segera menghampirinya dan menyuruh masuk dan duduk.

Ia pun duduk di atas kursi yang telah tersedia di depan meja kerjaku. Tubuhnya lalu merasuk ke dalam kursi itu. Karena badan besar yang dimilikinya membuat kancing bawah kemejanya terlepas. Aku tersenyum kecil tapi tetap bersikap hormat padanya.

Dia menghela napas dan mengambil ancang-ancang untuk berbicara. “Pak, saya butuh surat tanah itu dikerjakan secepatnya. Seseorang yang mengaku pemilik tanah itu ingin menggusurku. Jadi, kalau perlu saya akan tambahkan beberapa uang,” ungkapnya dan menyodorkan amplop putih tebal ke atas meja.

Aku berpikir sejurus. Terus memikirkan pernyataan bapak itu. Ahh, apa ini yang Tuhan telah takdirkan kepadaku untuk menyembuhkan ibu? Ini benar-benar kesempatan besar. Melihat amplop putih itu yang begitu tebal pasti berisi kisaran uang yang lumayan. Tapi, bagaimana dengan petuah ibu untuk tak mengambil uang suapan. Ini sudah benar-benar korupsi. Pikiranku berkecamuk. Aku terjerat kebingungan. Mengambil uang itu atau tidak. Sekarang pilihan itu ada pada tanganku.

Aku menarik napas sedalam-dalamnya. Keringatku mulai berpancaran turun. Tanganku gemetar menggenggam bolpoin di tangan kananku. Kutatap wajah bapak itu yang semakin cemas menanti keputusanku. Lalu akhirnya aku berdiri dari kursi dengan perasaan masih berkobar.

“Maaf!” putusku lalu kutinggalkan bapak itu bersama secarik kertas yang kusisipkan padanya. Berjalan keluar meninggalkan beban yang menghantuiku bersama bapak itu.

Ketika esok hari telah tiba. Tepat pukul 09.00 pagi kuberangkat naik taksi. Bergerak menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Kulihat dokter dan dua juru rawat wanita berseragam serba hijau mengenakan masker hijau pula berjalan menuju ruang operasi. Mereka menatapku balik.

“Pak, ibu Anda siap kami operasi. Silahkan serahkan semua pada Tuhan karena kami akan berusaha semaksimal mungkin,” ungkap dokter itu.

Aku menganga. Perasaanku mulai menghujat cemas. Apa ini berkah ketika ibu akhirnya masuk ruang operasi? Aku pun tegang menanti operasi yang berlansung sangat lama. Berjalan bolak balik di depan ruang operasi.

Tak tik tuk. Detak jantungku terus diikuti jam yang terus berdetak. Tak terasa waktu telah habis hampir tiga jam lamanya. Aku masih menanti. Berharap-harap cemas dan tak sekali aku menghujam doa demi kesembuhan ibuku.

Setelah menanti cukup lama dengan rasa khawatir yang menjunjung tinggi. Akhirnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. Kutatap wajahnya yang gelisah dengan masker yang masih dikenakannya. Lalu dilepaskannya masker itu dan berbicara.

“Pak, mohon maaf! Kami telah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkata lain. Ibu Anda.. .”
“Ibuku kenapa dok?” tukasku sembari menarik-narik seragam dokter itu dan jantungku makin berdetak kencang
“Operasi yang dilakukan gagal. Ibu Anda tak dapat kami selamatkan. Ia meninggal,” jelasnya dan membuat hatiku remuk seketika.

Aku menganga panjang. Terdiam dalam derita. Membeku pada jeritan nestapa. Air mata bahkan habis disedot penyesalan. Aku menjerit lantang. Menangis tanpa air mata setetespun. Aku menyesal. Sangat menyesal.

Ibuku pernah berkata bahwa ia rela mati jika uang untuk menyembuhkannya adalah hasil korupsi. Ternyata itu bukan sekadar petuah, kalimat atau rangkaian kata-kata tapi itu adalah doa. Aku tak percaya kini kata-kata itu menjadi nyata. Aku bak ditampar rasa sesal. Biaya operasi memang hasil korupsi, hasil suap dari bapak sebelumya. Aku meninggalkan secarik kertas sebagai persetujuan tapi berharap ia mengirim ke rekening dan bukan uang tunai jadi aku meminta maaf atas pengertiannya.

Tapi kini telah terlambat. Nyawa ibu telah menghilang karena kebodohan dan rasa tak tahan diriku untuk tak mengambil uang itu. Aku tak pernah sedetikpun berpikir bahwa Tuhan punya rencana lain selain harus korupsi tapi pikiranku saat itu pendek. Aku kebingungan.

Watampone,130813

Untuknya yang tak jemu pada uang hitam

Senin, 12 Agustus 2013

Puisi Kemerdekaan

puisi kemerdekaan
Sudah lama tanah air terseret jajahan
Para pahlawan berperang melawan pedih
Menggusur niang yang merambah pilu
Oleh jemari yang memaksa
Memerdekakan daratan luas
Hingga dibacakan jua lembaran kertas
Bukti ruah kemerdekaan itu
Di depan para jiwa-jiwa yang terkukung nestapa
Ya, Itu dulu
Dulu ketika rerintihan itu mendedau
Kini rasa merdeka telah tergenggam erat
Meski merdeka hanyalah kata-kata
Sebuah rasa yang terpaku dalam perayaan
Di setiap alunan lagu yang dihempaskan
Dikobarkan pula wajah merah putih
Berdiri tegak berbari-baris
Mengangkat bahu, tangan dan menghormat
Itukah kemerdekaan?
Jiwa luka dan kurang masih membudak
Terampai pada kemiskinan dan kediskriminasian
Terhalang olehnya yang bertindak merajai
Itukah kemerdekaan?
Merenung asa yang tak pasti
Harap demi harap menjunjung rendah
Merasa budak dalam kemerdekaan
Merdeka
Kau kah yang kucari
Kau kah yang dicari
Para rakyat yang masih menguning
Pada cinta dan kasih kemerdekaan
Merasa malu padanya
Pada pahlawan yang pernah berjuang


Watampone,130813

Ziarah Kubur Habis Lebaran

Uhhh, masih suasana lebaran nih! Ayo pada kemana, habis lebaran ini? Kebun binatang? Pantai? Situs kuno? Rumah nenek plus kakek?

Kalau aku sih yang sudah menjadi tradisi keluarga. Sehabis lebaran, pastinya kami berkunjung ke pemakaman para keluarga kami yang telah lalu. Berziarah ke kuburan mereka sembari mengirim doa. 

Inilah yang saya lakukan sehabis lebaran ini. Bersama keluarga, aku berangkat dengan menggunakan kendaraan sepeda motor. Tapi, beberapa keluarga lainnya juga ada yang naik mobil. Kebanyakan sih!

Lokasi pemakaman nenek-kakek ada di Desa Pongka, Kecematan Tellu Siattinge, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia. Wuhh, lengkapnya. Ibu saya asli desa itu, sementara sang ayah si pria Kampung Baru, nama desa nih.

Kami berbondong-bondong datang ke pemakaman yang terletak di atas bukit. Jalan yang terjang dan pendakian yang melelahkan tak pernah sekalipun menyurutkan langkah kaki kami untuk datang mengirimkan surah Al-Fatihah untuk para keluarga yang telah meninggal.

Kami pun mendoakan agar mereka tenang di alam sana. Selain itu, beberapa artikel yang pernah saya baca bahwa ziarah kubur itu selain untuk datang mendoakan mereka, juga agar diingatkan mengenai adanya kematian itu sendiri. Bahwasanya setiap manusia yang pernah lahir di dunia ini, suatu hari nanti bakal menemukan titik akhir di mana mereka akan kembali pada-Nya, Tuhan Yang Maha Pemilik Segala Sesuatu. Allahu Akbar!

Di tengah ziarah kubur yang aku lakukan bersama keluarga. Tak lupa cepret sana cepret sini. Kata orang sih untuk kenang-kenangan,, huhuhuhu. Silahkan nih intip foto-fotonya.

ziarah kubur habis lebaran

ziarah kubur habis lebaran

ziarah kubur habis lebaran

Selain ziarah kubur, tak lupa saya sempatkan berkunjung ke rumah-rumah sanak saudara, menjalin silaturahmi bersama plus ngga lupa nyicipin kue-kue mereka, hahaha :D *ngga lucu*

Minggu, 11 Agustus 2013

Liburan ke Tanjung Pallette Bone Yuk!

Selamat Hari Lebaran, minal aidin walfaidzin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya adil terjamin

Wahh, ngga nyangka setelah hampir satu bulan penuh kita lalui dengan kerongkongan yang kering kerontang, lapar yang melilit perut dan nafsu yang seakan memuncak untuk terus ditahan. Kini, hari lebaran telah berlalu. Dari puluhan hingga jutaan orang berkumpul merayakan kemenangan bersama.

Tapi, suatu hal yang paling dinantikan adalah hari libur. Selain mudik ke kampung halaman, liburan bersama keluarga seakan menjadikan semuanya indah. Berkumpul, bercanda ria, seakan semua masalah dipinggirkan sementara.

Kali ini, aku memilih untuk liburan ke salah satu objek wisata terbaik yang ada di daerah asalku. Tidak lain kalau bukan Tanjung Pallette. Semua orang Bone, Sulawesi Selatan pasti sudah pada tahu kan objek wisata yang satu ini? Pemandangan lautnya yang estetik dan aroma biru air kolam seakan menggoda iman untuk bermandi ria di bawah air-air itu.

Bersama keluarga, kami berangkat habis salat Jumat kemarin (9/8). Kami mengendarai sepeda motor. Aku? Tentunya, tanpa boncengan. Awalnya aku takut, mengingat banyak yang bilang jarangnya agak berkelok menurun dan tanjakan. Susah, apalagi ada jurang. Tapi aku memberanikan diri. Dan..sukses, aku sampai dengan selamat. Selamat ya!

Hampir setengah jam kami berkendara. Akhirnya kami tiba di depan gerbangnya. Uhkkk, senangnya!

tanjung pallette bone


Aku dan keluarga tidak memilih ke tanjungnya. Tapi, kami ke Risfanayu Waterpark & Resort. Tidak jauh kok dari tanjungnya sendiri. Kami ini menyegarkan tubuh di area permandiannya dengan beraneka ragam fasilitas yang disediakan. Wuhhh! serunya.

Harga tiket masuk ke waterpark & resort ini untuk dewasa hanya Rp 30.000,00 dan anak-anak Rp 20.000,00. Yang aku lihat, harga ini hanya berlaku hingga tanggal 18 Agustus mendatang.

tanjung pallette bonetanjung pallette bone
Sumber foto (facebook RISFANAYU Waterpark & Resort)

Berikut adalah hasil foto aku dan keluarga lainnya :D

tanjung pallette bone


tanjung pallette bone

tanjung pallette bone

Selasa, 06 Agustus 2013

Mengapa Kau Selingkuh?

Wahai jiwa yang kucintai
Kubiarkan matahari melepuhku
Angin menjatuhkanku
Udara menyekapku
Salju melelehkanku
Badai melumpuhkanku
Dunia merampas hidupku
Kuserahkan semua milikku
Hari-hariku
Kehidupanku
Semua kuserahkan
Kukorbankan perasaanku
Kulepaskan ketenanganku
Kuhabiskan semua jerihku
Tapi, mengapa kau selingkuh?

Watampone, 06-08-13

Malam Berdarah 2 : Balas Dendam

Haloo!!! Sudah pada baca kan cerpen Malam Berdarah sebelumnya? Kalau belum, sebaiknya Anda harus baca karena cerpen berikut ini adalah lanjutannya.

Author: Justang
Title: Malam Berdarah 2 : Balas Dendam
Genre: Thriller, Horor
Part: 2

Bercak darah yang masih menggulung-gulung kenangan terus menjeratku. Aku yakin ini bukan salahku. Sangat yakin. Dunia gelap dan kelam itu memang pernah menyusup dalam kehidupanku. Bahkan membuatku terisolasi oleh kesalahan yang seakan terus meneror.

Hari ini. Tepat satu minggu setelah kejadian malam kemarin. Malam yang membuatku terus terbayang-bayang penyesalan ketika harus mengetahui bahwa kekasihku si kuncir meninggal tragis dengan tanganku sendiri. Aku tak pernah ingin melakukan itu. Tapi efek emosional terus melancarkan jiwaku untuk melakukannya.

Ketika saat itu, dadaku berhasil tertusuk pisau dapur dan punggung yang kurasakan sakit setelah terjatuh dari atap rumahku sendiri. Aku masih ingat ketika dua orang datang menghampiri kami karena keributan yang dilakukan. Aku juga yakin bahwa mereka yang akhirnya membawa saya terbaring lemah di rumah sakit. Kuketahui dari dokter yang merawatku.

Setelah ditangani secara serius selama satu minggu. Akhirnya aku bisa kembali istirahat di lantai rumahku. Aku segera pulang ditemani oleh temanku yang setia, Fery.  Dia adalah temanku yang juga sudah lama tinggal bersama denganku di rumah. Ia tak punya tempat tinggal di kota. Semua keluarganya ada di kampung. Aku memintanya untuk tinggal di rumahku karena aku merasa kesepian. Aku adalah anak tunggal dari orang tua yang paling sibuk di dunia ini. Ya, mereka selalu ke luar negeri dan pulang paling lama lima kali setahun.

Tiba di rumah. Aku masih tak memberanikan diri untuk naik ke loteng rumah. Aku tak ingin mengingat lagi kejadian malam itu. Aku pikir bahwa itu cukup menjadi kenangan pahit bagiku. Maka tinggallah aku termenung pilu di rumah. Aku seakan seperti terjerat dalam keadaan traumatis.

“Sandy, sudahlah, kamu tak perlu mengingat lagi malam itu. Ayo move on!” ungkap Fery menyemangatiku yang terus duduk kacau di teras rumah.
“Fer, aku juga ingin seperti itu. Tapi, aku merasa masih ada hal yang aneh pada malam itu. Aku sekaan terus dihantui oleh kejadian tersebut,” lantang segera aku berdiri di hadapannya.

Fery tampak tegang. Ia mungkin merasa khawatir denganku. Lalu dipegangnya pundakku. “Sandy, jika kamu seperti ini terus. Kamu bisa gila. Sayang sekali, aku tidak ada pada malam itu. Aku tak bisa melihat kejadiannya dan mungkin jika aku ada, aku bisa menghalangi agar semua itu tak terjadi,” Ia menarik tangannya dari pundakku dan segera pergi ke kamar.

Aku terus memikirkan kata-kata Fery. Aku memang cukup jauh untuk terus berpikir pada kejadian itu. Benar, aku bisa gila jika seperti ini terus. Maka kucoba untuk hidup normal lagi. Lalu kulangkahkan kakiku segera menuju ke kamar mandi. Membasuh muka yang seakan kotor pada pikiran-pikiran ganjil. Kemudian kuambil handuk yang tergantung pada gagang pintu. Kuusap mukaku dengan handuk itu sembari terus menatap cermin di hadapanku.

Tiba-tiba. Hsstthhh!!! Sebuah bayangan hitam melesat cepat dari cermin itu. Aku serentak terperanjat. Aku kaget dan membuat bulu roma sedikit tegak berdiri. Apa itu? Aku terus teriak dari kamar mandi. Seketika itu seseorang menggedor pintu dan memanggil namaku.

Kubuka perlahan pintu kamar mandi. Terbuka dan terlihat Fery tepat berdiri di balik pintu itu. Lalu ia menarikku segera keluar dari kamar mandi dan membuatku berhadapan dengannya dan juga menghadap tepat di depan kamar mandi itu.

“Ada apa? Kenapa kamu teriak? Apa yang terjadi?” tanyanya khawatir padaku.
“Tidak! Tidak! ini mungkin karena aku baru saja pulang dari rumah sakit dan masih merasa lelah,” ungkapku segera menutup pertanyaannya.

Lalu kuberanikan lagi memandang area dalam kamar mandri yang tepat berada di belakang Fery berdiri. Kulihat perlahan dengan mataku yang sudah penat. Wuhhh. Tampak sosok tinggi gelap membelakang dengan rambut panjang ikal ke bawah. Sontak membuatku kaget setengah mati dan membuat kakiku lumayan bergetar. Segera kututup wajahku dengan satu tapak tangan dan terus menunjuk ke arah kamar mandi. Fery yang melihatku bertingkah demikian lantas kaget dan heran.

“Ada apa? Apa yang kamu lihat?” tanyanya ketakutan.
“Itu.. itu.. itu,” kataku gagap dan menunjuk-nunjuk ke arah kamar mandi itu.

Fery pun berbalik cepat dan sepertinya tak melihat sosok apapun dari dalam kamar mandi itu.

“Hmhmh, sepertinya kamu memang sangat kelelahan. Sebaiknya kamu segera ke kamar dan apalagi mentari juga sudah hampir tenggelam dan malam ini aku ingin memperbaiki dinding yang sudah mulai lapuk,” sarannya dan segera aku berjalan cepat menuju ke kamar.

***

Malam akhirnya menyambut. Usai makan malam bersama Fery di ruang makan. Kembali aku ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhku yang sudah sangat letih pada kejadian hari ini.

Di kamar. Aku terbaring lemas di kamar yang lumayan lunak. Meskipun begitu, mataku masih tak mau menutup diri. Aku gelisah dan sangat gelisah. Kubalikkan arah tidurku ke kanan ke kiri dan ke kanan lagi. Aku tak bisa tidur. Kutatap jam dinding yang tergantung tepat di kamarku dan sudah menunjukkan hampir jam 12 malam. Aku masih terjaga pada larutnya malam.

Lalu kucoba untuk menutup mataku perlahan sekali lagi dan akhirnya tertutup. Aku pun tertidur meskipun tak begitu pulas. Di tengah tidur kecilku tiba-tiba.

Brakk!! Sebuah benda terjatuh dan suaranya membangunkanku. Apa lagi ini? Aku makin ketakutan. Kurasakan tubuhku dingin membeku, gemetar dan menggigil padahal malam ini begitu panas. Tapi aku berpikir kalau itu hanyalah suara jatuhan benda dari kucing atau sejenisnya, bukan dari hal-hal aneh yang masih menjalar dalam benakku.

Brakk!! Sekali lagi suara itu terdengar. Dari dinginnya badan berubah keringat ketakutan. Aku merinding. Apa itu hantu? Kuangkat tubuhku dari kasur lunak itu. Segera berdiri dan perlahan kulangkahkan kakiku menuju ke pintu. Aku ingin keluar untuk memastikan suara itu. Perlahan gagang pintu yang terbuat dari besi itu kutarik. Aku merasakan kedinginan yang teramat dingin. Kubuka dan memandangi sekitar. Semua gelap dan bahkan lampu rumah juga sudah mati. Kuperhatikan pintu kamar Fery yang tepat berada di sebelah kamarku dan masih sangat tertutup rapat. Aku yakin dia tidak mendengar suara yang kudengar tadi.

Lalu kulangkahkan kakiku perlahan. Mengendap-endap mencari asal suara itu. Aku ke dapur karena merasa itu memang berasal dari dapur. Ketika tiba di dapur dan tak ada satupun sesuatu yang aneh di dapur. Di lantai pun tak ada benda yang berserakan. Lantas dimanakah asal suara itu?

Aku istirahat sejenak sambil membuka kulkas mencari minuman demi membasahi kerongkongan yang mulai kering karena ketakutan. Awwhh, betapa nikmatnya ketika bongkahan es batu masuk ke dalam kerongkonganku, terasa begitu adem ayem.

Kututup lagi kulkas itu dan tiba-tiba aku mendengar suara orang yang sedang menangis merintih. Hu..huu.huh. Suaranya begitu jelas dari pendengaranku. Seakan menyusup ke indra yang satu itu. Lantas membuat bulu kuduk berdiri tegak satu persatu.

Huh..hu..huu. Suaranya makin jelas. Ia seakan menangis karena kesakitan. Aku yakin itu suara perempuan. Suara tangisannya begitu mengiris hati. Aku pun juga mendengar itu berasal dari loteng. Loteng? Ya tepat dari loteng rumahku. Aku sangat ketakutan. Terasa semua tubuhku tercekik takut. Meskipun aku gelisah dan takut tapi aku harus memberanikan diri agar semuanya selesai. Aku tak ingin tersiksa dan terus dihantui oleh suara-suara aneh itu.

Maka mulai kugerakkan tubuhku menuju ke loteng tanpa membangunkan Fery. Aku tak ingin ia terlibat dengan semua ini. Biarlah aku yang cari tahu sendiri. Aku pun naik ke loteng dengan napas yang mendesah dan kadang hilang.

Tiba di loteng. Semua gelap dan begitu kelam. Kuraba-raba sekitar mencari sakelar lampu. Kutekan dan semua terang dengan lampu itu tapi tak seseorang pun di loteng. Namun suara tangisan itu malah semakin keras dan jelas di pendengaranku. Aku tahu, bukan di loteng tapi di atas atap, tepat berada di depan lotengku ini. Tepat berada di tempat kejadian malam kemarin terjadi.

Aku berjalan perlahan menghampiri jendela kecil lotengku. Kubuka dan segera naik ke atap. Betapa tercengannya diriku ketika kulihat sesosok wanita berambut panjang ikal tak beraturan sedang duduk selonjoran di tepi atap. Ia menangis tersedu-sedu. Suaranya begitu menyeringai.

“Siapa itu?” tanyaku penasaran.
Tangisannya makin kencang. “Sandy, sayang!” katanya begitu mendesah-desah.
“Kekasihku!” tebakku karena yakin suara itu seperti suara kekasihku yang telah meninggal. “Ada apa? Kenapa kamu menangis?” tanyaku lagi. Rasa takut yang kurasakan perlahan menghilang tapi kakiku tetap saja gemetaran.
“Sayang, aku sendiri. Aku kesepian. Temani aku dan peluk aku. Buka bajumu dan kita nikmati lagi seperti yang pernah kita lakukan dulu,” tuturnya dengan nada halus mencekik diiringi tangisan yang terus menderu.

Entah mengapa tapi aku tetap mengikuti ajakannya. Lalu segera kuangkat dan kubuka baju kaos hitam yang melekat di tubuhku. Tersisah singlet putih yang masih kukenakan. Kulihat ia pun perlahan membuka pakaiannya. Tiba-tiba.

“Sandy, apa yang kamu lakukan?” sahut seseorang dari belakangku. Aku berbalik badan segera dan kulihat Fery berdiri membuka jendela kecil loteng rumahku dengan palu tepat di tangan kanannya.
“Fery, kekasihku di sana,” kataku lalu menunjuk ke arah yang tadi kulihat tapi sudah tak ada sesosok apapun di sana. Aku kaget karena begitu jelas tadi kulihat tubuhnya masih berada pada tepi atap itu.
“Kawan, tidak ada orang di sana. Hanya…” belum selesai Fery meneruskan perkataannya tiba-tiba wajahnya berubah pucat. Matanya pun ikut merah. Aku takut. Apa yang terjadi dengan Fery?

“Sandy, hanya ada kamu di sini. Hanya ada kamu. Betapa teganya kau bunuh wanita yang juga kucintai itu,” kata Fery dengan nada marah dan kesal.

Lalu ia bergerak menuju ke atas atap dan berjalan menghampiriku. Aku masih kaget dan heran. Kutatap wajahnya yang begitu memerah. Lalu Fery tiba-tiba memukul pundakku dengan palu yang dibawanya. Menendangku dan membuat aku terjatuh. Aku pun teriak kesakitan.

Ia kemudian mengambil pisau dapur dari dalam sakunya. Ditodongkan pada leherku ketika aku telah tergeletak di atas atap.

“Sandy, kalau kamu ingin tahu? Aku lah yang membuat kalian saling bunuh seperti itu. Kumasukkan sebuah pil dalam minuman kalian. Pil yang dapat membunuhmu tapi aku tak menyangka efeknya hanya membuatmu lupa diri. Kulakukan ini karena aku cemburu karena kalian begitu dekat padahal aku juga mencintai wanita itu,” jelasnya dengan mulut yang terus menghembus napas pilu.

Aku tak menyangka setelah mendengar pernyataan dari Fery. Aku tak pernah tahu kalau dia ternyata juga suka pada kekasihku itu. Akibatnya, aku begitu kesal ketika mengetahui kejadian yang sebenarnya bahwa Fery yang membuat semua itu terjadi. Aku pun mengambil inisiatif untuk menendang tepat di kemaluannya. Ia menjerit kesakitan. Segera aku berdiri tapi ia lanjut loncat ke arahku dan membuat kami jatuh terpontang-panting hingga terhempas ke tanah. Kami berdua jatuh tengkurap bersamaan. Beberapa benda tajam juga terjatuh tapi tak satupun menimpa kami.

Di sela-sela kesakitan itu. Fery segera berlari ke arahku sembari membawa golok panjang di tangannya bermaksud untuk menusukku dengan golok itu. Aku berhasil menghindar dengan menggulingkan tubuh ke kiri. Aku berdiri dan menendang kakinya. Ia pun berdiri dengan kaki terlipat. Kumanfaatkan suasana dengan menghajar mukanya dan berhasil membuat darah terciprat dari hidungnya dan segera kubanting hingga terjatuh ke tanah.

Ketika ia terbaring lemas. Aku pun menginjak perutnya dengan keras dan membuat darah tersembur dari mulutnya. Seakan masih kesal, kuambil pula golok yang tadi dibawanya dan segera menusuk perutnya. Kembali darah terus menetes dari mulut, hidung dan perutnya. Tiba-tiba sesosok wanita berambut panjang seakan keluar dari tubuh Fery. Ia pun tertawa menyeringai.

“Hahahah. Ini adalah balasan karena kamu telah membunuhku. Akulah yang memasukkan pil itu untuk membunuhmu karena aku lebih suka temanmu dari pada kau. Tapi karena aku telah mati maka kubuat juga temanmu ikut mati agar ia bisa bersamaku abadi di sana. Aku pun merasuki jiwa temanmu itu dan membuat kau sendiri yang membunuh dengan tragis dirinya. Aku rasa balas dendamku padamu telah usai. Selamat tinggal mantan kekasihku, hahahahh,” ungkapnya terus tertawa menyeringai dan mendadak hilang.

Aku terperanjat dibuatnya. Sekali lagi aku berbuat suatu kesalahan. Apa yang aku lakukan? Lalu kuangkat kepala Fery, mencoba untuk membuat ia terduduk. Ia pun seakan ingin menyampaikan sesuatu padaku.

“Sandy, apa yang kamu lakukan? Kenapa kau membunuhku?” tanya Fery dengan darah yang terus merembes dari mulutnya.
“Fery, maafkan aku. Aku tak bermaksud melakukan ini. Tadi, aku pikir itu adalah dirimu tapi ternyata… .” kutatap Fery yang mulai terengah-engah. Napasnya terus mengembus keras-keras. Darah dari mulutnya tak henti mengalir deras.
“Sandy,” ungkapnya terakhir dan seketika itu ia tak sadarkan diri. Kucoba periksa nadinya tapi benar-benar tak terasa lagi. Jantungnya pun tak berdetak. Fery tewas pada saat itu. Aku menjerit menyesal. Air mataku pun terus mengalir deras hingga membuat darah Fery melumar.

“Akhhhhhhhhhhhhhh…..” pekikku kencang.

Habis. Habislah sudah. Dua orang yang terdekat padaku kini tewas dengan tanganku sendiri. Aku menyesal dan begitu menyesal. Tapi semua telah terjadi. Aku harus segera bangkit pada malasah yang terus menuntutku. Balas dendam kekasihku itu benar-benar membuatku kacau. Padahal, dulu aku tak bermaksud melakukannya. Melakukan pembunuhan itu.