Jumat, 26 Desember 2014

CERBUNG: Sepucuk Senja untuk Cinta [Bagian 2]

-saat tawa dan tangis adalah hal yang sama-
[Bagian 2]


“Mana mungkin aku tanya. Gengsi kali. Oh, iya. Mr. Google kan tahu segalanya. Ayo apa?” tanya Ewin.

Ryan langsung menyambut pertanyaannya dengan muka dungu. Ia menempelkan jari telunjuknya ke jidat, dengan maksud berpikir. “Sepucuk senja?”

***

“Ah, lama sekali lu mikir, Bro. Jamuran nih gue!” Fahmi menepuk pundak Ryan hingga seakan-akan alinea dalam otaknya yang cemerlang menghilang.

“Sabar kali. Jaringan di otakku kan nggak pakai speedy, dimaklumi lah!” keluh Ryan. Jarinya masih terlekat di jidat.

Sepucuk senja? Dua kata yang terangkai dari bibir tipis Ayu berhasil membuat tiga sahabat itu memutar otak, bahkan Mr. Google super kelayapan. Betapa tidak, kekata sederhana tersebut diyakini memiliki makna lebih bagi Ayu. Jadi, tak ada alasan Ewin untuk abai.

Sebenarnya bukan cuma kata ‘sepucuk senja’ yang keluar meruak dari otak Ayu, yang memang putrinya kata-kata hingga Ewin jadi linglung. Pernah sekali waktu, wanita pencinta senja ini juga mengucap sebaris kalimat penuh misteri, saat Ewin pertama kali berkenalan dengannya.

“Aku terlahir dalam pangkuan rembulan saat cahaya lembayung datang, tapi jika kau ingin mengenalku, jangan tatap aku seperti lembayung. Lihatlah segaris kuning di tepinya!” katanya saat itu.

Mata Ewin berputar, tak mengerti. Ingin berkenalan dengan seorang wanita saja harus belajar dulu. Lantas, segera ia tersenyum cerah dan mengadu ke Mr. Google.

Saat itu, otak Ryan lagi encer hingga sekali pikir kalimat tersebut langsung tertebak. Maknanya begitu sederhana. Ayu lahir saat langit di sebelah barat berwarna ungu setelah matahari terbenam. Walaupun begitu, ia tak ingin dianggap bunga ungu pada perkenalan pertama karena maknanya cinta kasih. Melainkan ia ingin dijadikan seperti bunga kuning yang bermakna suatu awal indah dalam persahabatan.

Setelah tertebak, Ewin mendalami makna tersebut hingga persahabatan mereka tercipta hari demi hari. Ia selalu ada ketika Ayu dalam suka dan duka, bahkan jadi pendengar setia segala curahan yang keluar dari dasar hati wanita lemah lembut itu, termasuk hubungan Ayu dengan Sofyan, kekasihnya.

Berat. Sangat berat. Tiap kali Ayu melayangkan sosok Sofyan yang begitu dicintainya langsung menghunjam hati Ewin, membuatnya seperti kertas lusuh yang telah dicabik-cabik. Tapi, ia berusaha tegar menghadapinya apalagi senyum selalu tersungging di bibir Ayu yang semakin membuat ia terkulai. “Tak masalah yang dikagumi orang lain, asal senyumannya senantiasa terlukis untukku,” pikirnya kala itu.

Hari pun terus berganti, perasaan Ewin pada Ayu kian bertambah. Setiap kata cinta yang dikeluarkan Ayu untuk Sofyan menjadi momok baginya. Setiap kali juga ia berharap kata cinta itu dimaksudkan untuknya. Namun kapan? KAPAN? Ia tak pernah mampu mendatangkan hari itu.

“Cewek memang aneh, tak pernah mulus jalan pikirannya. Apa sih yang ada dalam otak mereka?” Fahmi mendengus. Ia sepertinya sudah capek memikirkan makna dibalik ‘sepucuk senja’.

“Mereka tidak aneh, hanya saja kita yang belum paham akan maksudnya.” Ewin memelas.

“Ahaaah!” Ryan berteriak heboh seperti kerasukan ilmuwan hebat. Matanya berbinar-binar dengan bibir tersenyum sempurna. Tampaknya baru saja ia kejatuhan jawaban terbaik mengenai ‘sepucuk senja’.

Ewin mengangkat dagunya karena kaget dan langsung menatap Ryan penuh selidik. Sementara Fahmi lebih terkejut, sehelai rambutnya pun berayun jatuh. Lalu, segera dikibaskan jambulnya sedikit ke kanan.

“Lu udah dapat jawabannya, Bro?” tanya Fahmi, ditarik-tariknya sweter Ryan.

“Iya, nih. Kau sudah paham makna dibalik sepucuk senja itu? Cepat berita tahu aku!” paksa Ewin. Ia ikut menarik-narik sweter Ryan.

Melihat dua sahabatnya kian agresif, Ryan pun menggenggam tangan mereka dan menjauhkan dari sweternya. “Kalian kok jadi ganas begini? Tenang!” ucap Ryan sambil tersenyum angkuh.

“Cepetan kali, Bro! Sumpah, gue udah hampir mati penasaran,” desak Fahmi.

“Masih hampir, kan?” canda Ryan.

Fahmi kembali meninju bahu Ryan, ia sudah terlalu geram.

“Baiklah!” Ryan melempar senyum yang kesekian kalinya. Lalu, ia menunjuk ke salah satu arah, di tepi jalan dekat dua pohon besar yang mengapit sebuah warung kecil.

Ewin dan Fahmi sontak memalingkan wajah ke arah tersebut. Alis mereka terangkat bersamaan.

“Warung? Lu lapar, Bro?” tanya Fahmi agak heran.

“Oh iya, tubuh kau kan besar jadi nggak bisa mikir kalau lagi lapar, ya? Baiklah, aku traktir.” Ewin mendesah lemah.

“Iya, sih, aku memang lapar.” Ryan menggaruk kepalanya, malu. “Tapi bukan warung itu yang kutunjuk. Melainkan gerobak penjual bunga yang di sebelahnya.”

“Bunga? Untuk apa?” tanya Ewin.

“Senja itu warnanya apa?” Ryan balik bertanya.

“Merah kekuning-kuningan,” jawab Ewin segera.

“Oranye. Sementara sepucuk juga berarti setangkai. Jadi, sepucuk senja artinya setangkai bunga berwarna oranye. Nah, berikan saja bunga mawar oranye!” terka Ryan.

“Tidak sia-sia lu jadi Mr. Google. Mengatasi masalah tanpa celah,” puji Fahmi. Ia berkali-kali mendorong tubuh Ryan karena kagum.

“Tapi---” Suara Ryan meninggi.

“Tapi apa?” Ewin terkesiap, begitu pula dengan Fahmi.

“Dari yang aku baca di Tempo, mawar oranye memang tidak populer tapi mempunyai makna paling dalam. Warna oranye tersebut sebagai simbol gelora cinta yang menggebu serta kekaguman yang luar biasa. Nah, bisa jadi sebagai tanda kalau ia mulai menaruh hati untukmu.” Mata Ryan langsung berkilat.

“Wah, selamat, Bro! Tak sia-sia lu bersabar.” Fahmi menarik tangan Ewin dan menyalaminya.

Sementara itu, tampang Ewin masih terlihat linglung. Ia belum bisa percaya, Ayu juga telah diam-diam mencintainya. Yang ia yakini, Ayu sangat mencintai Sofyan seperti cintanya pada Ayu yang tak kan berhenti. Kalau itu memang benar. Yang ia tak paham, apa maksud semua itu?

“Ada apa, Bro?” Fahmi menatap wajah Ewin bingung.

“Apa benar dia juga mencintaiku? Terus, maksudnya apa dengan Sofyan? Atau, barangkali yang dimaksud di sini bukan mawar oranye tapi mawar kuning yang berarti persahabatan yang indah.” Ewin masih mengelak makna yang diberikan Ryan. Bukannya ia tak senang, melainkan bisa jadi kesempatan besar baginya memiliki Ayu. Tapi, ia tak ingin cinta yang palsu.

“Itu sih terserah kau, saudaraku. Aku kan cuma kasih penjelasan akan makna sepucuk senja,” ucap Ryan pasrah. Ia tak bisa berbuat banyak, soalnya itu masalah prinsip.

“Ah, kalian berdua lama sekali. Kita ke penjual bunga dulu. Liat tuh udah mau bye, kan?” seru Fahmi. Ia menarik kedua tangan sahabatnya itu.

Setelah di depan gerobak penjual bunga, mata Ewin langsung tertuju pada dua tangkai mawar. Ia pun mengambilnya dan meletakkan masing-masing di kedua tangannya. Setangkai mawar oranye di tangan kanan dan setangkai mawar kuning lagi di tangan kiri.

“Oranye atau kuning? Cinta atau persahabatan?” tanya Ewin bingung, sekaligus gundah teramat dalam.

Bersambung!

Terima kasih sudah berkenan untuk membaca CERBUNG ini :) Oh iya, menurut kalian Ewin bakal pilih mawar oranye atau kuning? Penasaran! Saksikan terus kelanjutan cerita ini: TAYANG SETIAP HARI SABTU :D

Sabtu, 20 Desember 2014

CERBUNG: Sepucuk Senja untuk Cinta [Bagian 1]

-saat tawa dan tangis adalah hal yang sama-
[Bagian 1]

Jangan pernah bermain cinta, jika tak ingin dipermainkan oleh cinta! – NN.

Kalimat tersebut sama halnya jika tak ingin terbakar, maka jangan main api. Yah, cinta itu memang seperti api. Saat ia masih kecil, semua memuja bahkan memanfaatkannya. Tapi, ketika ia membesar dan tak dikendalikan dengan baik, ia bisa saja membakar. Membuat sakit dan meninggalkan luka.

Barangkali itu yang kini dialami Ewin, lelaki jangkung dan kurang berdaging, yang memiliki nasib cinta paling pedih seantero kota. Setelah menjatuhkan tambatan hati pada Ayu, seorang cewek yang ditaksirnya sejak sekelas di bangku SMA yang rupanya telah punya kekasih, membuat ia harus memendam cinta dalam-dalam. Ia tak berani mengungkapkannya, juga tak ingin meninggalkannya. Jatuhlah ia pada jomblo tak kunjung usai.

Nasibnya sebagai jomblowan itu cukup lama, bahkan mungkin telah lupa kali terakhir berpacaran. Nggak perlu tepok jidat! Itu sudah biasa buatnya. 

Ia betah menjomblo bukan tanpa sebab. Pertama, bukannya tak laku, malah kalau dihitung sudah ada puluhan cewek yang bisa ia dapatkan. Apalagi dengan wajah tampan melankolisnya serta otak brilian. Tapi, kemunafikan atas cinta yang ia pikir hanya membuang waktu dan mengganggu aktivitas sekolah. Semua cinta yang datang pun berlalu pergi. Kedua, alasan paling klise, belum ada yang bisa menggantikan sosok Ayu di hatinya.

Bagi Ewin, Ayu memang bukan bidadari yang turun dari kayangan atau seorang putri yang ditakdirkan untuk sang pangeran. Tapi, Ayu serupa cahaya di kegelapan malam yang mengalahkan terang kemerahan pada penghujung hari. Ayu juga laksana kelopak bunga yang merekah pada puncak getirnya hati. Dan, Ayu bagaikan napas penyejuk jiwa.

Sejauh ini, Ewin belum mampu melumpuhkan Ayu di hati terdalam. Memang bodoh, bahkan terlalu bodoh, ia tetap menyimpan rasa itu seperti lelaki angkuh yang menyembunyikan harta karunnya. Namun, mungkin rasa itu tak akan tersimpan cukup lama. Besok, saat usia Ayu genap tujuh belas, ia berniat mengungkapkannya.

Salahkah? Menurut ia, itu sama sekali tak salah. Hatinya bukan gudang yang mampu menyimpan benda hingga berkarat bahkan berdebu, ia juga ingin wanita bertubuh ramping dan tinggi, serta rambut khasnya yang panjang tergerai dengan pita merah jambu tahu apa yang ia rasa. Walau ia tahu benar, Ayu adalah milik orang lain.

“Bro, Lamunin apa? Galau, ya?” tegur Ryan, sahabat karibnya yang tiba-tiba datang bersama Fahmi. Mereka lantas merusak bayang-bayang Ayu di pikiran Ewin.

“Iya nih, muka lu kayak kaos kusut saja yang dari tadi belum disetrika. Apa, yo? Cerita! Kita kan flend,” tambah Fahmi. Muka Ewin semakin ditekuk.

Friend!” protes Ryan, lalu digetoknya kepala Fahmi.

“Iya, Mr. Google!” jungur Fahmi.

“Begini, loh, fend!” Ewin mulai bersuara.

Friend!” protes Ryan, lagi.

“Iya! Mau dengar cerita aku, nggak?” keluh Ewin. Muka yang ditekuk, semakin tertekuk.

“Ah, abaikan saudara kita yang mirip Google ini. Apa-apa, ngasih info. Ayo mulai cerita!” Fahmi balik menggetok Ryan, hingga membuatnya mendengus kesal.

“Kalian kan tahu, telah lama kusimpan rasa untuk Ayu. Sungguh! Aku sudah penat dengan semua ini. Kuingin ia segera tahu aku padanya. Aku tak peduli dianggap apa nanti karena mengungkapkan cinta pada kekasih orang.”

“Lu juga sih, bro. Mencintai cewek yang punya kekasih. Lihat gue, dong, kalau nyari cewek!” tukas Fahmi. Sahabat Ewin yang satu ini, yang merupakan ketua voli sekolah memang paling mudah mencari cinta. Didukung dengan tubuh kekar dan stylish, sekali lirik mampu menghasilkan cinta yang baru. Meski ia juga tipe cowok setia, tapi cepat sekali bosan dengan seorang cewek. Hanya berkisar sebulan atau paling lama dua bulan, ia putus dengan pacarnya. Katanya, sih, lebih baik diputusin daripada diselingkuhin. Jadi, ia butuh kekasih yang mampu meluluhlantakkan hatinya. Membuat ia tak mampu lagi berpaling.

“Seperti yang aku baca di Wolipop, salah satu tips jika mencintai kekasih orang, ya, hargai hubungannya. Memang pedih harus menyembunyikan perasaan pada orang yang kita suka. Tapi, jangan maju dulu apalagi ia masih berstatus punya orang! Nanti dicap perusak hubungan, loh. Kalau memang ia takdirmu, ia tak kan lari ke mana seperti burung merpati yang akan kembali pada majikannya.”

Seperti kebiasaannya, Ryan menjelaskan panjang lebar. Ia memang sering dijuluki Mr. Google karena kebiasaan tersebut. Ia yang juga ketua Komunitas Baca yang ada di sekolah, bertubuh tinggi tegap berotot dengan kacamata bening khas miliknya. Lelaki kutu buku dan paling pemalu ini juga memiliki kisah paling pedih akan cinta. Setiap kali ada cewek yang dekat dengannya, apalagi kalau cantik dan mungkin tipenya banget, ia kikuk duluan dan bahkan bisa kencing berdiri. Padahal, wajahnya itu cukup lumayan jadi pajangan toko. Eh?!

“Ah, kalian tambah bikin aku gagana!” sebal Ewin.

“Gagana?” tanya Ryan dan Fahmi kompak.

“Tumben lu kagak tau. Lagi eror google-nya?” sindir Fahmi. Ia mengarahkan tinjunya ke bahu Ryan.

Ewin terkikih sekejap, lalu kembali memasam. “Gundah gulana merana. Tapi, sebenarnya bukan cuma itu yang bikin aku galau.”

“Terus apa?” tanya Ryan penasaran. Matanya melotot ke arah Ewin.

“Kemarin kan tanya sama Ayu. ‘Mau hadiah apa di ultahnya besok?’ Eh, ia cuma bilang, ‘Aku sudah anggap kamu sebagai kakak paling istimewa. Jadi, aku cuma butuh sepucuk senja darimu.’ Lah, mana aku tahu sepucuk senja itu maksudnya apa?” jelas Ewin sambil menirukan gaya Ayu saat mengucapkannya.

“Ngapain lu gak tanya sama dia maksudnya apaan? Barangkali semacam kode lagi,” ucap Fahmi sok menerka.

“Mana mungkin aku tanya. Gengsi kali. Oh, iya. Mr. Google kan tahu segalanya. Ayo apa?” tanya Ewin.

Ryan langsung menyambut pertanyaannya dengan muka dungu. Ia menempelkan jari telunjuknya ke jidat, dengan maksud berpikir. “Sepucuk senja?”

Bersambung!

Kamis, 20 November 2014

Baca Kepribadian dari Gaya Tertawa, yuk!

Baca Kepribadian dari Gaya Tertawa, yuk!

Aku lagi punya kebiasaan aneh (orangnya juga aneh, sih -_- ) suka merhatiin gaya ketawa setiap orang. Dan, kau tahu? Gaya tertawa mereka berbeda-beda, dari yang paling imut hingga teraneh. :)

Aku yakin dari perbedaan itu, pasti ada makna di baliknya. Tadaaa, ternyata betul. Dari artikel yang aku baca, tulisannya kayak gini: Perusahaan pembuat wine Lambrini telah melakukan studi ilmiah yang mengklaim bahwa pikiran seseorang bisa dibaca hanya dengan menganalisa caranya tertawa.

Misalnya, gaya yang diawali dengan suara seperti sedikit tercekik yang muncul dari belakang tenggorokan, lalu diakhiri dengan tawa terbahak-bahak. Gaya tertawa "yang katanya" seperti gaya tertawa Adele ini cenderung menyenangkan, mudah bersosialisasi dan rendah hati.

Tawa yang tergelak terus menerus dan keras menunjukkan sebuah spontanitas. Tapi di sisi lain tubuhnya membungkuk sambil menutup mulut dengan tangan terkepal seperti sedang malu. Gaya tertawa seperti ini menunjukkan ia orang yang spontan tapi di sisi lain ingin tetap terlihat manis dan polos.

Lalu, tertawa dengan perut yang bergetar, wajah berkerut dan gesture sedikit membungkuk ke depan. Orang ini tertawa sambil malu-malu, atau mencoba jaga image. Tawa yang terkekeh-kekeh pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa dirinya masih menunjukkan empati atau menjaga perasaan orang/sesuatu yang ditertawakan.

Suara tawa yang lepas dan menggelegar terkadang membuat orang di sekitarnya merasa terganggu. Bukan karena terlalu keras dan menarik perhatian, tapi gaya tertawa ini biasanya terdengar mulai dari nada yang rendah dan seketika meninggi. Biasanya dilakukan agar dirinya didengar atau dikagumi oleh orang lain.

Masih banyak banget sih contoh-contohnya, intip aja di http://wolipop.detik.com/read/2013/05/08/183856/2241505/852/8-gaya-tertawa-yang-bisa-dipakai-untuk-menebak-isi-pikiran-orang 

Kalau kamu tertawa kayak gimana, sih?

Minggu, 09 November 2014

Selamat Hari Pahlawan - Puisi

SELAMAT HARI PAHLAWAN

Pahlawan di dunia ini tak 'kan pernah hilang
Walau mereka yang kita kenal, terkubur tanah gersang
Pun mereka pula tetap terkenang
Selalu ada sebagai pejuang

Pahlawan di dunia ini tak 'kan pernah mati
Mereka hidup, bersemayam di hati
Bersama kita yang 'kan jadi pengganti
Meneruskan jasa mereka tanpa henti

Kita itu pahlawan
Pencari kawan, bukan lawan
Memerangi diri tuk jadi cendekiawan
Melindungi semesta dari arus bengawan

Kita itu pahlawan
Menembus awan bersama seikhwan
Menggapai asa dengan dermawan
Karena kau tahu: kita tetap pahlawan

Watampone, 10 November 2014
Hari Pahlawan, hari untuk pejuang

Senin, 27 Oktober 2014

Sabar itu Indah

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
 (Q.S Ali-‘Imran : 200)
Dika berdiri tegak, pokoknya dia nggak mau bergerak. Lama banget. Pikirnya, hanya itu satu-satunya cara agar bisa menyembunyikan kaki pincangnya. Kasihan sih, dia pincang karena kecelakaan motor. Dia memang sudah hati-hati tapi Allah selalu punya rencana lain untuk makhlukNya.
Dika pun tetap bergeming. Padahal di ujung jalan, seseorang sedang menantinya. Dia masih saja takut untuk melangkah. Namun dia nggak mungkin bersembunyi lama. Kalau tidak, dia tak akan bertemu orang itu. Dia harus segera berjalan dan biarkan yang lain tahu tentang kakinya.
Dengan perlahan dia melangkah. Semua mata mulai memandanginya. Dia sangat malu.
Bukan tatapan itu yang membuatnya malu. Dia malu dengan dirinya yang sudah berdiam lama banget. Apa yang mesti ditutupi? Allah masih memberinya kaki. Bedanya, kaki itu kini sulit digerakkan.
Dia terus saja berjalan timpang. Mulai tak peduli tanggapan lainnya. Dia tetap percaya kalau masih sama dengan yang lainnya. Makhluk Allah yang diciptakan sangat sempurna dibanding makhluk ciptaan lainnya.
Tak menyangka, seseorang sengaja menabrakkan tubuh besarnya ke arah Dika. Eh, tak lantas menolong saat Dika sudah terjatuh. Dia malah menjulurkan lidahnya. Lalu, langsung pergi sembari memberi olokan dengan berjalan layaknya orang pincang.
  Astagfirullahaladzim! Dika beristigfar berkali-kali. Diusapnya dadanya agar amarah yang sebenarnya bisa menggejolak tak keluar. Kemarahan yang tak penting malah merugi.
Dika bisa saja membalas perbuatan orang itu. Dia mungkin mengejek dengan nada terkasar. Bisa jadi begini, “Lebih baik pincang karena kecelakaan, daripada kamu yang tiba-tiba pincang tanpa sebab yang jelas.” Tapi, Dika tahu itu malah bikin runyam.
Dika memilih berserah pada Yang Maha Kuasa. Menunduk pada keagunganNya dan bersabar diri. Dia bukan pengecut yang tak berani membalas namun kadang kesabaran sebagai bukti bahwa dia masih kuat. Dia memperbaiki posisinya dan berdiri sekuat tenaga.

Dika kembali berjalan. Orang-orang pun masih meliriknya. Namun dia sudah santai dan tak ambil pusing omongan itu. Langkah demi langkah, dia bertemu juga dengan sahabat lamanya, yang akhirnya bersua lagi sejak ditolong saat kecelakaan kemarin.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Sang Saka - Puisi Kemerdekaan

Sang Saka
Oleh: Justang Zealotous

Sang Saka telah terbentang
Bergerak mengombak pada tiang-tiang
Pada sudut kota, desa, pedalaman
Hingga ujung negeri

Tak lagi ada air mata
Semua baur dalam haru pusaka
Mengibarkannya
Mendendangkan lagu raya

Tak lagi ada perbedaan
Semua dalam rantai yang sama
Mengikat hati
Agar tetap mencintainya

Sang Saka tetap terbentang
Seperti langit tak ada ujung
Seperti laut membentuk samudera
Karena kau, Indonesia

Jumat, 13 Juni 2014

Giving a Love

GIVING A LOVE
By. Justang Zealotous
We came from a million heads
We did for a billion ways
But we are only one
For taking a best place

Should I shouldn’t I
We came together
and leave one another

Would I wouldn’t I
Every love in the hand
Always come from the land

We’re everlasting giving a love
Even you’re not with us again
You still part of us evermore

Because we know
Our tears are spirit
Our laughter is happiness

Together we are here
Whenever we gather
Sing and laugh
Always give a love

Then we believe everything okay
Because we hand in hand
With our love in our hand

And together we get everything

Jumat, 16 Mei 2014

Pangeran Jas Hujan (new version)

PANGERAN JAS HUJAN
By. Justang Zealotous

Rupaku bukan bidadari
Aku tak manis, tak juga rupawan
Aku tak menawan, cuma hati seputih awan
Gayaku bukan permaisuri, cuma cinta selalu tulus

Sajak itu selalu terukir dalam coretan hati. Terkadang tersimpul dalam secarik kertas. Berharap suatu hari nanti, akan ada seorang pangeran yang entah siapa kan membacanya dan paham tentang aku. Paham tentang perasaanku. Paham tentang adanya cinta yang selalu tulus untuk sang idaman.

Namaku Tina. Pengalamanku tentang cinta, bisa dikatakan sangat langka. Terlahir dengan wajah tak karuan begini, siapa mau? Meski yakin, Tuhan telah menyiapkan sosok yang pantas untukku.

Gadis kacamata. Rambut kepang. Riasan tebal. Mulut yang menjorok ke depan. Rahang yang moncong. Hidung yang setengah habis. Hantu sendiri bahkan muak jika melihatku. Ingin operasi plastik, biaya super mahal. Menghabiskan hartaku tujuh turunan. Tuhan pernah bilang, manusia diciptakan berpasangan-pasangan. Apa iya, aku punya pasangan juga?

Pertanyaan yang membuatku sempat putus asa itu memang selalu membelenggu hidupku. Namun, untungnya ada sesosok pria di kampus yang selalu buat hatiku berbunga. Dia Henry. Cowok tampan, tinggi, kulit putih bersih, rapi, fashionable dan dengan tubuh atletisnya yang selalu kupandangi dari jauh. Mana berani aku mendekatinya. Aku sadar diri. Dia pangeran sedangkan aku hanyalah budaknya bawahan.

Jujur. Henry yang sering kujuluki sebagai pangeran kampus itu memang menjadi inspirasi terbesarku. Demi dia, aku rela berubah jadi lebih cantik agar bisa dilirik. Tiap hari perawatan. Tapi, sepertinya takdir tidak bisa dibohongi. Henry masih saja ogah melirikku. Meski hasil perawatan itu memang hanya mengubah dari terlalu jelek menjadi agak jelek. Setidaknya, menatapku bukan hal menjijikkan untuknya, bukan?

***

Seperti biasa di kampus, aku menjadi makhluk terasing. Segitu burukkah diriku hingga terkesan buangan. Tapi, tak masalah. Dedikasiku dalam pendidikan dan sosok Henry membuatku tetap bertahan. Dia sungguh hadiah terindah dari Tuhan untukku. Meskipun hadiahnya hanya terbungkus dan terpajang di etalase kaca.

Aku berjalan sendirian. Sangat tergesa-gesa karena hari ini harus mengikuti ujian praktikum. Tuhan memang adil, walau aku dikaruniai wajah yang tak maksimal tapi otakku masih brilian. Aku tak mungkin melewatkan ujian begitu saja.

Brak! Langkah yang memburu terhenti saat menabrak seseorang. Buku-buku yang kubawa berjatuhan. Sebelum kupungut semua, kutatap orang yang kutabrak. Aku terperanjat. Rupanya orang itu Henry. Tubuhnya sangat dekat denganku, bahkan kulitnya yang mulus sempat menyentuhku. Aku pasti akan selalu ingat momen ini.

Aku tersenyum. Dia cemberut. Lalu, kugerakkan bibirku yang kaku perlahan, “Ma-af!”

Dia tak menjawab. Tampaknya sangat kesal karena kacamata yang dikenakannya terjatuh dan pecah karena saat melangkah, aku tak sengaja menginjaknya.. Wajahnya pun memerah dan siap merutuk tapi aku menunduk dan segera mengambil kacamata itu untuknya. Belum sempat kuserahkan, dia telah melangkah pergi tanpa menoleh. Kacamata itu pun kusisipkan ke saku.

Wajar dia bertindak begitu karena sepenuhnya salahku. Aku telah merusak kacamatanya. Aku sungguh merasa bersalah. Ingin rasanya minta maaf walau tak cukup berani. Aku tak mau buat dia kesal karena kebodohanku.

Kutarik napas pelan-pelan, lalu memungut buku-buku yang sedari tadi berserakan di tanah. Kemudian melanjutkan langkahku. Aku tak mau terlambat dan mendapat penyesalan dua kali hari ini.

***

Ujian praktikum selesai. Sementara kurapikan meja, mataku tiba-tiba berpaling ke kaca bening di laboratorium, di sana ada Henry sedang berjalan. Jantungku berdegup. Sejauh ini saja dia mampu membuat terlena, bagaimana kalau dekat. Aku harus segera membereskan semuanya sebelum terlambat. Aku ingin minta maaf. Harus. Ini kesalahanku.

Kuambil tas merah di atas kursi dan menggantungnya ke pundak. Lalu mengambil langkah cepat menuju ke luar. Saat di bahu pintu, kutatap sekeliling. Rupanya dia sudah ada di ujung koridor, selangkah lagi langkahnya akan menghilang.

Aku tak akan kehilangannya kali ini, kata maaf itu harus terucap. Entah dia terima atau tidak, yang jelas tidak menyimpan beban. Kukejar dia dengan langkah seribu, sesekali juga kuteriakkan namanya agar dia memalingkan wajah dan menyadari panggilanku.

Rupanya semua sia-sia, napasku yang sudah sengal-sengal tak berhasil menggapainya. Dia lebih dahulu menaiki mobil sporty merah miliknya dan melaju kencang. Aku mengatur napas kembali dan meraih kacamatanya di saku. Aku pasti bisa minta maaf padamu. Batinku.

Aku memang sudah terlambat hari ini. Tapi, aku tetap yakin niatku yang baik untuk minta maaf akan segera membawaku padanya, cepat atau lambat. Kumasukkan kembali kacamata itu ke saku. Satu-satunya benda miliknya yang kini di tanganku. Sungguh bahagia.

***

Sudah hampir gelap, atau mungkin karena langit sedang mendung. Awan hitam bergerombol di atas sana. Sepertinya akan hujan. Kuraih payung yang kusematkan di tas. Payung hijau totol-totol yang memang selalu kubawa, apalagi musim hujan begini. Meski aku pencinta hujan tapi beberapa buku kuliah harus diselamatkan. Daripada basah, rusak, mending sedia payung sebelum hujan.

Segera kutarik benang panjang pada payung dan seketika itu kain payung terbentang ke atas. Aku melangkah menelusuri jalan pulang di bawah lindungan payung. Benar saja, beberapa menit berjalan, angin sudah menderu. Dedaunan di pohon menari-nari. Payungku ikut bergoyang tak terkendali. Kupegang erat-erat agar tak melayang.

Setengah perjalanan, petir ikut bergemuruh. Bersahut-sahutan memecah angkasa. Titik-titik air yang berjatuhan segera datang. Sementara payungku kian tak terkendali karena amukan angin. Aku berusaha menggenggamnya dengan sekuat tenaga.

Tak berselang lama, genggaman tanganku tak cukup erat hingga payungku melayang terseret angin. Aku mencoba mengejar tapi angin kian menerbangkannya semakin jauh. Benar-benar tak berguna, aku terlalu lemah hingga itu terjadi.

Aku cemas ketika hujan datang dan membasahi seluruh tubuhku, juga tasku. Buku-buku yang kusimpan bisa rusak. Itu akan semakin membuat aku menggundah. Tapi, aku tak mungkin berdiam diri, berharap hujan menyurutkan niatnya untuk turun hari ini. Itu sungguh mustahil dan benar-benar bodoh. Sebaiknya mencari tempat berteduh.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya pepohonan yang rindang berjejer rapi di tepi jalan. Halte bis mana?  Tanda-tanda hujan semakin nyata. Petir bergejolak. Angin menderu hebat. Awan menghitam. Aku masih saja seperti orang tolol. Membisu.

Di tengah cemasnya hati, sesosok dari kejauhan berjalan ke arahku. Langkahnya semakin mendekat. Apakah dia malaikat yang diturunkan untuk melindungiku? Semakin dekat dan semakin jelas. Dia agak tinggi, pakai jas hujan, dan membawa payung.

Tunggu! Payung itu tak asing. Payung itu payungku. Apakah dia benar-benar malaikat? Bukan, dia seperti pangeran. Pangeran yang membawa payungku. Aku ingin memperhatikan wajahnya tapi tertutupi oleh masker penutup mulut dan hidung . Tak masalah yang penting payungku telah kembali.

“Ini payungmu?” tanyanya seraya menyerahkan payung itu.

Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengambil payung dari tangannya. “Terima kasih!”

“Tak masalah. Tadi tak sengaja melihat payung itu terlepas dari tanganmu hingga melayang-layang. Untungnya melayang dekat ke arahku, jadi mudah untuk mengambilnya,” jelasnya.

Aku cuma bisa tersenyum, mulutku kaku. Dia sungguh baik. Aku tak pernah menemukan pria sebaik dia. Tuhan memang tak pernah tidur, Dia mendatangkan seorang pangeran jas hujan ke bumi untuk menolongku.

“Sebaiknya kamu pegang payung itu erat biar tak terbang lagi. Hujan segera datang dan tak baik untuk kesehatanmu,” sarannya dengan nada lembut. Tak ada kepalsuan pada setiap ketukan kalimatnya.

Oh Tuhan, pangeran yang Kau turunkan untukku ini sangat baik? Batinku. Aku menatapnya sayup-sayup sambil tetap tersenyum. “Sekali lagi terima kasih.”

Dia mendesah. Desahan napasnya terdengar jelas.

“Boleh tanya, tidak?” pintaku.

“Tentu boleh!”

“Kenapa kau menolongku? Apakah tidak malu dekat denganku? Selama ini tak pernah ada yang dekat denganku karena wajah yang buruk.”

Dia tertawa kecil dan kemudian menjawab, “Aku menolongmu karena wajib. Kenapa harus malu? Orang yang tak mau dekat denganmu, berarti mereka buta.”

Aku terdiam membisu. Seakan terhipnotis akan kalimatnya yang syahdu. Tak percaya ada orang yang mengucapkan demikian. Hening beberapa saat hingga hujan datang memecah kesunyian.

“Hujan sudah datang. Kita ke bawah pohon itu, yuk!” ajakku.

“Untuk apa?” tanyanya.

Keningku mengerut, “Kalau di bawah pohon, kan, biar hujannya tak cukup deras.”

“Oh, baiklah. Kamu ke sana dan biar aku di sini! Aku suka hujan.”

Dia suka hujan? Aku juga. Apakah kita jodoh? Tidak, dia bukan jodohku. Jodohku pangeran kampus. Aku tak mungkin berpaling hati. Cintaku sudah tulus untuknya. Jika aku mencintai pangeran jas hujan, berarti tak punya cinta lagi. Hanyalah khianat.

Terpaksa kusurutkan niatku ke bawah pohon. Tak mungkin membiarkan dia sendiri. Itu terlalu egois. Saat dia membantuku, aku malah kabur tak tahu malu. “Aku juga suka hujan. Baiklah, aku akan menemanimu di sini,” putusku akhirnya.

“Wah, kita sama dong. Tapi, buku kamu bakal basah jika tetap bertahan di sini. Atau begini, kita berjalan pulang saja. Rumahmu ke barat, kan?” sarannya lagi.

Aku mengangguk pelan.

Kami berjalan bersama di bawah derasnya hujan. Aku di bawah lindungan payung, sementara dia dalam lindungan jas hujan. Aku memintanya untuk sepayung berdua tapi ditolak karena menurutnya tak baik, bisa menimbulkan fitnah.

***

Sepanjang perjalanan, tak lupa saling mengenal. Dia Hasyim. Dia mahasiswa tapi tak bilang kampusnya di mana. Dia suka hujan karena menurutnya sangat indah ketika setiap tetesan itu berjatuhan dan memercik seperti lantunan lagu. Hujan juga membuatnya bahagia karena terus mengingatkannya pada orang yang dicintai. Dia tak bilang siapa orang itu.

Selama perjalanan itu pula, kami mengobrol banyak hal. Aku sangat suka ngobrol dengannya. Nyambung dan hangat. Aku juga sempat menceritakan ketertarikanku dengan Henry. Tapi entah kenapa setiap aku bercerita tentang Henry, dia seperti tersedak, batuk-batuk. Apa dia cemburu? Tak mungkin. Baru saja bertemu dan kenalan.

Sudah hampir masuk gang rumahku. Hujan perlahan mereda. Aku belum jua sempat melihat wajahnya. Dia pamit duluan dan bergegas pergi. Namun sebelum beringsut meninggalkanku, dia tak lupa meminta nomor handphone. Dia berlindung sejenak di bawah payung dan mencatat nomorku ke handphone-nya. Dia janji akan menghubungiku malam ini.

***

Senja kemerahan baru saja menghilang. Di bawah sinar bulan purnama, kubuka jendela lebar-lebar dan menatap jutaan bintang di langit. Kubayangkan rupa Henry dan menyatukan setiap rasi bintang, seakan dia sedang tersenyum manis ke arahku. Entah kapan dia mau membuka hatinya untukku? Aku selalu menunggu hari itu tiba.

Terus kupandangi bintang yang sesekali mengerling, juga lamunanku tentang Henry yang masih bertahan. Tiba-tiba handphone berdering. Dengan gesit langsung kuraih handphone yang tergeletak di sampingku dan segera memencet tombol angkat.

“Henry?” terkaku.

Dia terdiam. Tak ada suara di ujung sana. Aku langsung menepuk jidat. Betapa bodohnya aku. Dia tidak mungkin Henry. Sejak kapan Henry tahu nomorku?

“Maaf, aku pikir temanku. Ini siapa, ya?” tanyaku lagi.

Agak lama terdiam, hingga jawaban dari sana terdengar jua, “Maaf Tina. Ini nomor aku, Hasyim. Ganggu, ya?”

“Oh, kamu. Tidak kok. Maaf, yah, soal tadi,” balasku.

“Ngga apa-apa. Kayaknya kamu suka, ya, sama Henry? Dari kemarin sebut Henry terus.”

Aku tersenyum dan kembali membayangkan Henry. Lalu, lanjut berucap, “Tapi kayaknya dia tidak suka sama aku. Aku jelek, dia tampan.” Aku memasam. Kembali kudongakkan kepalaku, bintang perlahan semakin sedikit. Hanya satu yang cerah, setia menemani bulan.

“Kenapa bilang begitu? Tak pernah ada yang tahu takdir Tuhan seperti apa. Bisa saja kamu berjodoh dengan dia. Jangan sedih, ya!” ucapnya menyemangati.

Dia begitu perhatian padaku. Kami menelepon semalam suntuk. Membicarakan banyak hal. Memang tak terasa waktu saat mengobrol dengannya. Mungkin terlalu asyik hingga jam yang terpajang di dinding kamarku telah menunjukkan tengah malam. Kami masih saja mengobrol.

Namun akhirnya kantuk mengalahkanku. Mata tak lagi kuat menahan. Kuputuskan untuk mengakhiri panggilan itu. Tapi hubunganku dengan Hasyim dalam sambungan telepon bukan cuma malam itu. Tiap malam, kami selalu menelepon. Kadang dia dahulu, kadang pula aku yang menelepon duluan.

Hasyim memang menjadi temanku kini, tidak lebih. Aku tidak ingin mengkhianati perasaanku sendiri kalau nyatanya hatiku masih untuk Henry, bukan dia. Aku juga memang tak pernah bertemu dengan Hasyim. Hanya sekali, saat hujan kemarin.

***

Menghadap ke depan, lebih jauh, atau ke arah esok fajar bakal semburat. Kini harus kuhadapi semuanya. Henry tepat di hadapanku. Dia sedang berdiri, menyandarkan punggungnya ke dinding bersama temannya yang lain. Siapkah aku? Beranikah aku? Itu tak penting lagi harus dipikirkan. Hal yang sukses bukan apa yang dipikirkan tapi apa yang akan dilakukan.

Aku berjalan mendekatinya perlahan. Kuraih kacamatanya yang kusisipkan di saku. Meski bentuknya sudah tak terlalu baik, tapi bagian pengaitnya telah kusambung dengan plester bening, kacanya juga sudah kuganti. Aku memperbaikinya seminggu penuh. Aku melakukan ini demi dia. Demi rasa bersalahku padanya. Demi cinta yang tak pernah berkurang untuknya selalu.

Selangkah lagi, aku menyapanya dengan rasa bersalah, “Henry, aku minta maaf!”

Dia berbalik. Jantungku berdebar. Wajahnya kusam menatapku. Lalu, aku menjulurkan tangan dan menyerahkan kacamata. Dia terdiam lama hingga akhirnya mengangkat tangan ke atas dengan telapak tangan terbuka, kemudian mengibaskannya dan merebut kacamata itu paksa. Belum sampai itu saja, dia lalu mengempaskan kacamata ke lantai. Aku terkejut.

“Siapa tuh, Henry?” tanya lelaki di belakangnya.

Henry tak menjawab dan langsung merutuk ke arahku. “Masih berani dekat denganku? Enyah kau!” ucapnya sinis dan segera mengempaskan tubuhku, lalu melangkah pergi.

Hatiku sakit. Seakan diremuk dan dicabik-cabik. Air mataku masih tertahan, hanya ingin menjerit sekencang-kencangnya. Aku tak percaya dengan yang baru saja terjadi. Apakah ini cinta yang sebenarnya saat cinta dibalas dengan pedih?

Aku tak tahan lagi. Aku mengambil langkah tercepat. Berlari sejauh-jauhnya. Awan tampak hitam dan angin perlahan mengencang. Hujan mungkin datang. Itu lebih baik. Biarkan hujan temani aku yang sedih, biarkan hujan temani linangan air mata yang mulai menderai.

Saat hujan akhirnya tumpah,  kurentangkan tanganku dan biarkan titik-titik air itu membasahiku. Segera kulepaskan semua rintihan hati. Aku menjerit bersama jeritan petir yang menggejolak. Ini alasan mengapa aku suka hujan, bisa menangis dan berteriak tanpa ada yang tahu.

Tak berselang lama, seseorang datang membentangkan payungnya untuk melindungiku. Kutatap orang itu dengan mata sembap.

“Tina? Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya.

“Hasyim? Aku baik-baik saja. Aku hanya terharu dengan hujan yang sangat indah hari ini,” sergahku.

Dia tertawa. “Memang indah. Tapi, kalau kamu punya masalah, ceritalah!”

“Hmhm, aku tak punya masalah. Aku boleh minta sesuatu?”

“Tentu saja!”

“Boleh aku lihat wajahmu? Ah, agak aneh saat kita dekat malah tak pernah lihat wajahmu? Atau, jangan-jangan—“

Dia terdiam tapi agak aneh dan memalingkan wajahnya ke kiri. Seakan menyembunyikan sesuatu. Namun, dengan jahil kutarik penutup kepala jas hujannya, begitupun masker yang menutupi mukanya. Aku tertawa geli karena berhasil melakukannya. Tapi tiba-tiba tawa itu terhenti saat melihat wajahnya. Sungguh di luar dugaan.

“Hasyim? Henry? Kau Henry atau Hasyim? Atau Henry Hasyim itu satu?” tanyaku sangat tak percaya. Wajahnya sungguh mirip dengan Henry. Jadi, selama ini aku dekat dengan dua orang berbeda yang nyatanya sama. Aku benar-benar bodoh.

“Aku bisa jelaskan!” pintanya.

“Apa lagi yang harus dijelaskan? Kamu mau bilang lakuin ini semua karena mau mempermainkan aku. Biar semua orang tahu kamu keren. Yah, kamu keren. Karena kamu keren, aku sangat mencintaimu. Tapi, rupanya persepsi aku tentang cinta itu salah. Cinta yang benar itu apa yang kita rasa, bukan yang kita lihat. Sukses!”

“Tina, dengarkan aku dulu!” Dia mulai mengiba tapi wajahnya terlalu bulus untuk kuperhatikan kini.

Aku menjerit lagi. Aku tak ingin mendengar suaranya. Tiap kali melihatnya, aku terus terluka lebih dalam dan lebih sakit. Lalu, aku segera berlari menjauh. Meninggalkan dia yang kini berlutut berharap aku mendengarkannya. Tapi itu tak mungkin, aku sudah terlalu kesal. Rutukan barusan menyadarkan kebodohanku.

***

Petir masih bergemuruh dan hujan terus menimpa bumi. Sesaat kemudian, sebuah mobil sporty merah datang dan berhenti dekat dengan Hasyim. Saat kulihat wajahnya. Dia mirip dengan Hasyim atau Henry. Siapa lagi dia? Apakah dia pangeran mobil? Pikiranku kacau. Sangat rumit untuk memikirkan mereka semua.

  Masih kugerakkan kakiku dan melangkah pergi. Tak terduga, sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Lajunya tak terkendali. Aku pasrah dan tak akan menghindar. Aku lebih baik mati daripada terus ditipu oleh kebodohan.

Kupejamkan mataku. Tuhan, maafkan aku! Aku membatin. Kutunggu mobil menabrak namun tubuhku terlempar. Seseorang mendorongku dan membuat aku terlempar ke tepi jalan. Kuarahkan pandangan ke jalanan dan sudah terkapar seseorang di sana. Dia Hasyim? Hasyim atau Henry yang menolongku.

Aku segera berlari menghampirinya. Berkali-kali dia memuntahkan darah. Aku berlutut dan menopang tubuhnya. Air mataku masih berderai.

“Tina, maafkan aku yang tak bisa jujur padamu!” ucapnya masih terbata-bata, agak tidak jelas tapi aku masih mampu memaknainya.

“Jangan banyak bicara dulu! Kita harus ke rumah sakit!” tuturku.

“Aku Hasyim, Tina. Henry kembaranku. Aku sengaja merahasiakan identitasku karena ingin lebih dekat denganmu, aku tahu kamu lebih menyukai Henry daripada aku,” jelasnya lagi. Henry yang dimaksud segera datang.

Aku menatap Henry lamat-lamat saat dia menggenggam tangan Hasyim penuh penyesalan. Air matanya tak berderai tapi yakin hatinya menjerit.

“Aku tidak bermaksud membohongimu. Tina, kamu baik. Aku banyak belajar darimu. Arti cinta yang kaumaksud benar, aku merasakan cinta bersamamu bukan saat melihatmu.” Hasyim terus berbicara, sementara darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak. Aku menyuruhnya berhenti karena tak tahan menatapnya terluka tapi dia tetap melanjutkan, “Tiap hari aku menatapmu dari jauh. Aku tak berani mendekatimu karena wajahku yang mirip dengan Henry. Aku takut kamu tak mau dekat denganku.”

Hasyim memaksa tubuhnya bergerak. Dia meraih sesuatu dari dalam sakunya, yakni kacamata Henry. Dia menunjukkan kacamata itu. “Henry, jaga Tina untukku! Dia sangat mencintaimu lebih dari dirinya sendiri. Ada banyak hal yang dia lakukan demi kamu. Jangan sia-siakan cinta yang dia miliki untukmu!”

Reflek aku memalingkan wajahku ke arah Henry. Dia menatapku balik. Kami bertemu dalam satu mata. Entah kenapa debaran jantung itu tak lagi kuat dari sebelumnya. Kembali kuarahkan mataku pada Hasyim dan matanya telah terpejam. Nadinya pun tak terasa. Dia telah tiada bersama cinta yang telah kami genggam.

Watampone, 16 Mei 2014

Justang Zealotous