Senin, 10 Maret 2014

Dialog Pemimpi(n)

Dialog Pemimpi(n)
Oleh: Justang Zealotous

Maju
Mundur
Belok
Berhenti

Aku ingin begitu
Memerintah tak diperintah
Duduk manis dalam derita kursi jelantah
Kursi sisa para penentu hidup

Yakin?
Tak takut terperuk dalam kubangan kertas basi
Tumpukan putih tercoreng tinta hitam
Berkas sana, berkas sini

Aku tak takut
Sisa hidup tak perlu kedekut
Jalani hari tanpa bimbang
Nama besar, peristiwa besar, 'kan terngiang

Terserah!
Memimpin hidup orang memang mudah
Diri sendiri jadi tanggungan

Kau akan mati dalam renungan, sebab gagal jadi kepala

Raih Cahaya karena Cinta

Raih Cahaya karena Cinta
Aku pernah mencari kata “jomlo” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Rupanya kata tersebut berarti “gadis tua”. Buat pria berbesar hati? Oh, tidak! mungkin maksudnya sama. Sama-sama tua dalam kesendirian, kehampaan, kekosongan, dan kesepian akan belaian kasih seorang pujaan hati.
Jombloan itu memang sesak banget. Ketika muda mudi sedang asyik menikmati malam Minggu bersama kekasih mereka. Kami terpaksa mencari alasan nonton bola agar tak merasa jomblo sejati. Kami juga terpaksa pasrah melihat status-status bertebaran di Facebook tentang hubungan yang sedang berbunga-bunga. Sementara itu, kami hanya bisa menulis status tentang kesendirian atau rasa galau tak berkesudahan.
Dahulu kala, pernah kutembak seorang cewek. Hasilnya ditolak. Tembak lagi dan tetap sama, tolak. Apakah wajah tampan nan keren tak cukup bagi seorang cewek untuk memantapkan hatinya bersama kita? Meskipun tebal tipisnya dompet juga menjadi pertimbangan khusus. Tapi, wanita yang satu itu beda adanya. Dia butuh seseorang yang kelak bisa menjadi imam. Jadi, orang yang rajin salat menjadi dambaan.
Salat? Aku sadar, aku bukan pria yang terlalu dekat pada sang khalik. Aku seakan buta dunia. Hingga wanita yang dipuja itu pun harus menjadi sasaran yang mengharuskan aku salat. Memang harus seperti itu. Jika kita ingin mendapatkan hati seseorang, lihat dulu diri kita. Sudah pantas atau belum bersamanya? Maka dari itu, aku mulai memantaskan diri.
Aku mencoba salat setiap hari. Tak sedetik pun terlewat untuk tak melaksanakan salat. Wanita itu memotivasi aku untuk mengerjakannya. Aku tahu bahwa dengan cara seperti ini yang akan membuat dia tertarik padaku.
Di akhir setiap salatku, aku selalu berdoa padaNya. Memohon agar jomblo itu tak terlekat abadi di hidupku. Aku ingin wanita yang cantik dengan rajutan kain menjadi jilbabnya itu berpaut pada cinta ini.
Sepanjang waktu, ketika dia melihat aku sedang mengerjakan salat, rasa tak percaya atau penuh keheranan terpampang jelas di wajah eloknya. Mungkin karena perubahan yang mendadak dan tak biasa dariku. Wajar, biasanya ketika bunyi azan berkumandang, aku masih sibuk dengan dunia sendiri.
Saat diperhatikan, bibirnya seakan ingin mengeluarkan kalimat menyindir: “Tumben, biasanya tak begitu.” Meskipun aku yakin kalimat itu tak akan keluar bahkan hingga ajal menjelang. Dia adalah wanita baik hati yang teramat cantik.
Hingga pada akhirnya ketika merasa pantas untuk bersamanya dengan memenuhi syarat yang tersirat dari caranya bersikap. Aku kembali mendekatinya perlahan namun pasti.
Sekali lagi kuungkapkan yang dahulu telah menjadi bumerang bagi hidupku. Kuungkapkan semua kekata untuk menjemput hatinya. Kekata tentang rasa cintaku padanya.
Awalnya dia terdiam sejenak. Dia seakan berpikir tentang kepantasan diriku untuk bersamanya. Namun rupanya, hal yang tak sesuai rencana terjadi. Dia telah punya kekasih. Hatiku remuk seketika. Seperti kaca yang pecah dan berserakan di mana-mana. Lalu, beling itu tak akan mudah untuk bersatu lagi menjadi utuh. Hingga aku harus mengidap jomblo sekian kalinya.

Namun di balik semua itu, aku menemukan hal yang lebih membuatku nyaman, dekat denganNya. Aku seakan menemukan cahaya yang selama ini remang dalam hidupku. Mungkin aku memang tak bisa bersamanya tapi kenikmatan salat yang kuterima lebih dari sekadar yang kuinginkan.

Sabtu, 08 Maret 2014

Cerpen Horor - Ekspedisi Arwah

EKSPEDISI ARWAH
Oleh: Justang Zealotous

Napasku terengah, aku berlari dan terus berlari di tengah hutan yang begitu lebat. Aku berusaha teriak untuk memohon pertolongan, tapi setiap tarikan napasku yang semakin meninggi seakan menyesak tenggorokan untuk bersuara. Tak ada suara keluar hanya embusan napas yang pendek-pendek.
Detakan jantungku kian berdebar. Aku semakin ketakutan ketika batang-batang pohon di depanku kian lebat. Aku hanya berdoa bisa menemukan jalan pulang dan keluar dari hutan ini. Aku tahu, ini kesalahanku. Aku terlalu ceroboh hingga asap itu semakin keluar berkepul-kepul. Menimbulkan titik api yang kian membesar. Tapi, yakin ini bukan kesalahanku sepenuhnya. Setidaknya kini, aku bisa mendapatkan pertolongan itu.
Aku lelah tapi perasaanku masih ketakutan. Titik fokusku adalah jalan keluar dari hutan. Aku harus bisa menemukannya. Langkah kakiku semakin dipercepat. Tak ada waktu untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku tak peduli pada lebatnya hutan ini.
Sesekali membuatku harus melompat menghindari tumbuhan berduri di tanah. Menunduk menghindari dahan besar yang mencuat ke samping. Inilah perjuangan terbesarku meski tak yakin beberapa menit kemudian aku masih hidup atau tidak lagi, yang jelas aku telah berusaha.
Akhirnya, jalan beraspal itu kutemukan. Ada perasaan lega menghampiri. Tanpa pikir panjang aku berlari ke jalan beraspal itu. Tanpa sadar, sebuah mobil tak terkendali yang melaju kencang datang ke arahku. Dan.
***
Malam itu malam yang paling mencekam daripada biasanya. Malam Jumat yang memang identik dengan sifat mistisnya membuat perasaan kian diisi dengan ketakutan. Tapi, itu tak membuatku, Reno, Delon, dan Angga, tiga sahabat yang kumiliki untuk melakukan ekspedisi di malam gelap.
Setiap malam Jumat, kami memang suka mendatangi tempat-tempat sepi di kota Watampone, kota sedang di Sulawesi Selatan. Kebiasaan ini muncul setelah kejemuan melanda kami hidup di hirup pikuk kota yang datar saja. Kami ingin berbeda, sesuatu hal yang menantang jiwa kelelakian kami.
Pada setiap ekspedisi, kami selalu saja menemukan hal aneh tapi itu memang lebih mengasyikkan daripada harus menatap rembulan bersama kekasih, menurutku. Itu lebih menantang dan membuat kami tampak lebih berani.
Setelah berembuk, lokasi pilihan kami adalah sebuah rumah yang hampir dua tahun dibiarkan kosong dan berlantai dua yang tak jauh dari rumah Delon. Lokasi rumah di tepi persawahan, menambah kesepian rumah itu. Rumah yang bercorak tua dengan relief kuno dan cat putih menutupi beton-beton, serta pohon besar yang menggugurkan dedaunan kering di pekarangan rumah. Entah berapa makhluk halus yang menghuni rumah itu. Yang jelas tampak begitu angker.
Kami berdiri di depan rumah itu, menatapnya dengan gagah. Sebuah senter yang kami pegangi menyorot seluruh sisi depan rumah. Membuat kegelapan agak berkurang, meski sisi angker masih begitu terasa. Memperhatikan jelas lekukan-lekukan rumah batu yang mulai rapuh bagai kayu dimakan rayap. Coraknya memang masih terlihat utuh, cat putih yang mulai terlihat hitam kusam. Sesekali hawa dingin yang berembus membuat tubuhku bergidik.
“Serius, kita akan melakukan ekspedisi di rumah ini?” ucapku agak sedikit ragu.
“Ah, kamu itu penakut banget sih,” tukas Delon tampak berani.
“Kamu takut hantu, ya?” tambah Angga.
“Bagaimana sih, kita kan sudah biasa menginap di tempat yang sepi. Kok sekarang malah keberanianmu menciut gitu, San.” Delon menatapku tajam, sebuah senyuman tersungging dari bibirnya bermakna aku harus berani. Dia memang sahabatku paling pemberani. Bahkan ide awal untuk melakukan aksi ini adalah darinya.
Sebenarnya memang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Tapi, entah kenapa hawa dingin yang menusuk dari rumah telah membuatku semakin merinding. Seakan ada sentuhan halus pada pundakku di setiap pergerakan. Akhirnya aku terdiam pasrah meski rasanya ingin pergi dari rumah itu. Tapi, kalau sampai kuturuti rasa takutku, mereka tak akan menganggap aku sahabat lagi. Jalan terbaik adalah diam dan mengikuti semua langkah yang ada.
Delon berjalan paling depan memimpin aksi kami. Mengendap-endap dan berjalan pelan. Kami berusaha tenang, tapi setiap patahan dahang dari daun yang kami injak kian meriuhkan suasana. Hingga membuat kami terpaksa harus berjalan lebih cepat.
Saat tiba di depan pintu, aku mendapat tugas untuk membukanya. Sedikit tarikan napas, aku menjulurkan tanganku dari gagang besi. Kusentuh dan dinginnya besi seakan menjalar ke tulang-tulang tapi aku tahan dan memutarnya perlahan. Terbuka, suara decitan terdengar menggema. Pintu itu memang tak pernah dikunci tapi juga tak pernah terbuka lebar. Selalu tertutup, entah kenapa.
Langkah kaki kami perlahan menapaki lantai berlapis marmer putih. Suasana di dalam  rumah memang telah tergambar sedari tadi di pikiranku, hitam gelap pekat. Wajarlah tak ada lampu, kalau pun ada lampu. Listrik telah lama mati.
***
“Ini akan menjadi tempat penginapan terbaik yang pernah kita rasakan. Meski gelap tapi rumah ini tetap terlihat bagus kok,” tegas Reno. Dia tampak lebih berani dari biasanya, padahal dari kami berempat, dia terkenal sebagai makhluk penakut tapi entah apa yang merasuki jiwanya kini. Dia bahkan lebih berani daripada aku.
“Tumben banget kamu seberani itu, No.” Aku menatapnya agak keheranan.
“Ahh, rumah ini telah disediakan untuk kita. Jadi, kenapa harus takut,” sanggahnya.
Aku masih tidak mengerti dengan pikiran 3 sahabatku ini. Rumah itu seakan menjadi tempat bernaung yang telah lama bagi mereka atau mungkin karena mereka sudah biasa dengan rumah ini. Apalagi di antara kami, sepertinya hanya aku yang baru berkunjung. Aku tak pernah berpikir akan sampai ke sini, melihatnya saja aku sudah bergetar. Rumah ini kan tak jauh dari rumah Delon.
Ekspedisi itu dilakukan bukan hanya sekadar melakukan penginapan tapi kami juga ditempatkan di posisi berbeda. Kali ini aku ditugaskan di ruang tengah lantai dasar, tepatnya di ruang keluarga. Reno di bagian dapur lantai dasar juga. Angga dan Delon bersama di lantai dua. Itu dilakukan agar lebih memudahkan kita melakukan ekspedisi ini meski sebenarnya malah membuatku lebih ketakutan. Tapi, ya sudah. Aku terima.
***
Malam semakin larut, kuarahkan sorotan senterku ke jam tangan dan telah menunjukkan pukul sepuluh kurang tujuh menit. Pikiranku masih tak tenang tentang sosok makhluk halus yang menghuni rumah ini. Bagaimana pun juga hal-hal yang bersifat gaib itu pasti ada. Aku yakin.
Sejenak aku berpikir yang aneh-aneh, tiba-tiba terdengar bunyi jatuhan panci gedebar-gedebur di dapur. Hal itu sempat membuyarkan seluruh pikiran anehku dan mencari tahu maksud dari suara itu. Aku yakin itu berasal dari Reno. Tapi, entah apa yang telah ia lakukan.
“Reno, apakah kau baik-baik saja,” teriakku masih di ruangan keluarga. Tak ada jawaban, aku semakin cemas. Aku perlahan memberanikan diri untuk memeriksa keadaan di dapur. Rupanya tak seorang pun di sana hanya beberapa peralatan dapur yang tergeletak di bawah lantai. Lantas ke mana Reno pergi? Siapa pula yang menjatuhkan panci-panci itu? Pikiranku semakin diputar oleh pertanyaan.
“Reno!” Aku meninggikan suara berharap ia menyahut panggilanku. Masih tak ada jawaban darinya.  
Jantungku berdegup kencang. Entah kenapa ini memacu ketakutanku. Aku balik ke ruang tengah berharap ia ada di sana. Nihil. Ia masih tak menampakkan wajahnya. Apakah dia keluar? Atau dia naik ke lantai dua? Aku bingung.
Kusorot semua di sekeliling, berharap wajah sembap di pipi Reno tersorot oleh senterku. Syytt! Bayangan hitam melesat di lorong gelap menuju ke dapur. Aku berusaha berpikir jernih, itu adalah bayangan Reno. Aku mengatur napas. Berusaha tenang dan menanggalkan pikiran aneh.
Gerakan selanjutnya, ketika aku berbalik menuju ke sebuah sofa, sesuatu seakan menyentuh pundakku, terusap perlahan hingga bulu kudukku perlahan berdiri. Aku membalikkan badan dan menyorot ke segala arah. Tak seorang pun.
Kurasakan tubuhku mulai bergetar. Napasku mendesah tak lagi beraturan. Kembali kusorot jam tanganku dan telah menunjukkan pukul sebelas lewat. Puncak malam segera datang. Aku berjalan kembali ke dapur karena yakin Reno telah berada di sana. Bayangan sebelumnya yang meyakinkanku.
“Reno, apakah kau sudah kembali? Aku takut,” pekikku lagi. Langkah kakiku perlahan semakin cepat. Aku ingin segera melihat Reno di dapur.
Saat tiba, kuarahkan kembali sorotan senterku ke segala arah di dapur. Aku mendesah, rupanya Reno telah kembali—entah dari mana, aku tak tahu—yang penting, itu membuatku kembali lega. Dia sedang berdiri membelakang menghadap kulkas yang terbuka.
“Oh, rupanya kamu lapar toh. Sebenarnya, kamu dari mana saja sih, dari tadi aku bingung nyariin kamu,” ucapku.
Dia tetap terdiam. Sepertinya terlalu sibuk menjarah sesuatu di dalam kulkas hingga tak menyadari kehadiranku. Aku pun mencoba untuk mengerjainya. Aku berjalan perlahan mendekat dan memukul pundaknya agar dia terkejut.
“Byarrr!” kagetku. Akhirnya dia berbalik tapi kini agar berbeda. Terlihat jelas saat senterku menyorot wajahnya yang berlumuran darah, matanya memerah membelalak, mulutnya sedang mengoyak hewan mentah, terbukti masih ada ekornya yang memanjang keluar dari bibirnya.
Aku sadar, dia bukan Reno meski wajahnya sangat mirip dengan Reno. Apakah ini sejenis hantu yang menyerupai Reno? Entahlah, tapi tak ada waktu untuk memikirkan itu. Aku melangkah perlahan ke belakang dan memutuskan untuk lari sambil berteriak minta tolong.
Sambil membawa senter yang masih kupegang, aku berlari dan terus berlari tanpa mencoba untuk memalingkan wajah ke belakang. Aku tak ingin melihat sosok Reno yang mengerikan itu lagi. Aku pun menuju ke tangga di ruang tengah. Berpikir untuk memberitahukan kepada Angga dan Delon tentang ini, agar aku tak sendiri menghadapi ketakutanku.
Satu per satu tumpuan tanga berhasil kulalui tanpa tersendak dan tanpa keberanian untuk menatap ke belakang. Aku tak peduli, sosok itu masih mengejar atau tidak. Aku harus menemui Angga dan Delon di lantai dua.
“Angga, Delon. Tolong aku!” Aku berteriak begitu ramai.
Kuseret ruangan pertama di lantai dua, tampak Angga sedang berbaring di sofa. Apakah dia mengantuk hingga tertidur pulas begitu? Aku berlari mendekat dan mencoba untuk membangunkannya. Kutarik-kutarik pergelangan tangannya dan matanya terbuka perlahan. Dia bangun.
“Angga, tolong aku! Ada sosok Reno yang mengerikan di lantai dua. Aku sangat takut,” keluhku. Tiba-tiba, aku tersadar ketika menatap wajah Angga yang juga tampak berbeda. Meski ada rasa khawatir, aku menyorot wajahnya sambil menjauh ke belakang perlahan. Mendadak terlintas di benakku kalau dia juga bukan Angga yang sesungguhnya.
Rupanya betul. Angga kali ini lebih mengerikan. Lebih pucat dengan mata kiri yang mencuat ke luar. Dia mengangga dengan dua taring menjulur ke depan. Aku semakin bergetar ketakutan. Apa yang terjadi dengan sahabatku? Aku kembali memacu lariku sambil masih berteriak tolong.
Sejenak aku berpikir untuk mencari Delon tapi apakah Delon yang kutemukan akan sama mengerikan seperti Reno dan Angga. Jika benar begitu, sepertinya aku telah terperangkap sendirian di rumah ini. Bersama makhluk halus yang siap mengintai nyawaku.
“Delon, di mana kamu berada? Aku tak tahu harus berbuat apa lagi.” Aku berteriak-teriak berharap Delon datang dan menemaniku menghadapi ketakutan ini.
“Sandi!” Tiba-tiba terdengar suara memanggilku. Jelas sekali. Suara yang lebih dingin dan lembut. Anehnya, ini suara wanita. Aku menatap sekeliling dengan masih bantuan dari senterku.
“Sandi, itu hanya suara halusinasi. Tak seorang pun wanita memanggilmu.” Suara Delon mendadak terdengar dari belakang. Aku membalikkan badan dan dia ada di sana. Berdiri sambil menyorotkan senter ke wajahku. “Kamu itu kejam, kamu telah membunuh kami.”
“Maksud kamu? Aku tak membunuh siapapun,” tukasku.
Bullshit, kami terpanggang di rumah dan kamu berlari meninggalkan kami. Aku yakin, kebakaran itu pun juga datang dari kamu. Kamu yang membakar kami, kan?” ucap sinis Delon, senyuman angkuhnya tersungging jelas. Wajahnya sama seperti yang lain, pucat dan penuh darah.
Sedetik kemudian, Angga dan Reno juga datang. Mereka semua mengeluarkan taring yang tajam kini. Berusaha untuk membunuhku.
“Bunuh!” teriak mereka serempak.
“Jangan bunuh aku. Saat itu, aku cuma ingin memasak untuk kalian tapi entah kenapa gasnya tiba-tiba bocor dan aku berlari menghindar. Hitungan menit, meledak dan membakar.” Aku berusaha menjelaskan dan mencoba untuk berlari tapi aku terperangkap, tak ada jalan lain karena sekarang berada di lantai dua. Salah satunya adalah lompat dari lantai dua ke lantai satu, tapi itu sama saja—membunuhku.
“Sandi.” Suara wanita itu datang lagi. Kini diikuti sebuah rentetan doa. Kalimat-kalimat panjang yang terus menyebut nama Allah. Pada setiap ketukan doa itu perlahan memberikan cahaya di hadapanku. Sosok yang mengerikan itu perlahan menghentikan langkah pula. Cahaya itu akhirnya melindungiku.
***
“Sandi, syukurlah. Akhirnya kamu sadar juga.”
Dengan kondisi yang masih lemah, aku perlahan menggerakan tubuh dan membuka mata. Kulihat ibuku sedang menatapku sayu, juga ada ayah dan kedua kakakku. Aku agak heran.
“Nak, kami sudah sangat khawatir padamu. Kamu tak sadarkan diri hampir seminggu sejak ditemukan di pinggir hutan dengan kondisi yang sangat parah karena kecelakaan mobil. Orang yang menabrakmu pun telah minta maaf dan kami tak berniat untuk membawanya ke ranah hukum. Kesembuhan lebih utama,” jelasnya tapi agak memberikan sedikit kebingungan bagiku.
“Mana Reno, Angga, dan Delon?” tanyaku khawatir tapi dengan suara yang masih melemah. Kulihat tubuhku yang berbalut perban di sana sini.
“Jangan terlalu bergerak lebih, Nak. Tiga sahabatmu itu telah meninggal seminggu yang lalu. Bersamaan dengan hari ditemukanmu. Awalnya mereka sulit diidentifikasi karena tubuh mereka yang telah gosong terbakar bersama rumah di tengah hutan. Tapi, hasil DNA dari keluarga mereka dan juga rencana yang kaukabari sebelum berangkat ke sana mengungkap hal itu. Ekspedisi malam Jumat yang sangat berbahaya.” Kini ayahku yang angkat bicara.
Meninggal? Perasaan beberapa menit yang lalu aku sempat bersama mereka walau itu dalam keadaan yang sangat mengerikan. Apakah itu yang dinamakan perjalan arwah saat koma? Entahlah.

Senin, 03 Maret 2014

Masakan Penggoda

Masakan Penggoda
Oleh: Justang Zealotous

Mata Aliche terbuka lebar-lebar. Pandangannya sangat tajam menukik. Ia sangat marah saat mendengar orang tuanya ingin berangkat ke Italia sore nanti tanpa dirinya.

"Ma, Pa, kalian tidak sayang Aliche lagi," rajuknya.

"Bukan begitu, Nak!" Mamanya berusaha menenangkan, ia mengusap rambut Aliche yang tergerai panjang sebahu.

"Lepaskan!" Aliche mengempaskan tangan mamanya dan berlari dengan air mata yang mengalir bercucuran.

"Nak..!" pekik mamanya, suaranya menggema lembut dan perlahan habis diterbangkan angin, ia mencoba untuk mengejarnya tapi sang papa menahan dengan menarik tangannya.

***

“Nak, buka pintunya!” Mama Aliche terus menggedor pintu tapi tak sedikitpun respon dari Aliche. “Pak, bagaimana ini?”

“Sabar sayang, ini tak akan bertahan lama seperti tahun kemarin saat kita ingin berangkat ke Jepang. Masakan dengan saus teriyaki itu bisa mereda emosinya,” Mata Papa Aliche mengerling seperti tahu apa yang harus dilakukannya.

Mama Aliche membalas pandangan itu, senyumnya terurai di bibirnya yang merah. Langsung menyatu dalam pikirannya yang mendadak cemerlang.

***

Langkah kaki yang menjemukan terdengar menuju ke kamar Aliche, langkah kaki itu kian semangat seiring telapak kaki mulai menapaki semeter dari pintu kamar Aliche. Dua tangan Mama Aliche membawa sepiring masakan yang aromanya tercium hingga menusuk hidung.

“Hmhm, aku harap dia merasakan sejuta kelezatan dari buatan mama ini. Sebuah spageti yang akan meluluhkan perasaan dinginnya, mi berbentuk lidi dengan campuran saus teriyaki.” Pandangan manja papa langsung tertuju pada sang mama.

Tepat sekali! Terdengar langkah kaki dari kamar Aliche yang begitu terburu-buru menuju pintu. Gagang pintu mulai bergerak perlahan. Mama dan Papa Aliche tersenyum bahagia.

“Rencana kita berhasil, Pak. Ternyata aroma masakan ini berhasil mengundangnya tak lagi merajut.” Senyum Mama Aliche kian merekah lebar.

Sejurus kemudian, Aliche akhirnya menampakkan mukanya, masih dalam tatapan yang lesu, mengambek dan dengan sedikit kerutan di kening halusnya. Tangannya sangat sibuk menggerutu ke perut. Kakinya dilipat-lipat seperti menahan buang air kecil.

Dengan terburu-buru, Aliche berlari dan tanpa sengaja menabrak ibunya. Menjatuhkan sepiring masakan yang dibawanya dari tadi. Masakan itu berserakan di lantai, piringnya pecah berantakan.

Mama dan papa Aliche terkejut. Wajahnya memerah. Dia tak percaya buatan yang langsung dari hati itu kini tak berbentuk lagi. Aliche tampak bersalah.

“Ma, Pa, maafin aku. Aku hanya terburu-buru ingin ke kamar kecil.” Suara Aliche terdengar lirih.

“Tak apa, Nak. Ini adalah sebuah cinta yang datang dari kami. Masakan ini bukanlah apa-apa. Meski kini terlihat berantakan tapi cinta mama dan papa akan selalu satu untuk kamu, Nak. Jangan merajut lagi!” kata Mama Aliche.

Aliche tersenyum, dilanjutkan dengan tawa kecil. Mama dan Papa Aliche heran.

“Ah, Mama dan Papa. Seperti tahun kemarin, katanya teriyaki tapi malah gado-gado. Ini lagi, spageti tapi tetap berbentuk gado-gado. Ada banyak sayuran yang dicampur dengan mi dan saus teriyaki,” ucap Aliche manja.

“Tahu kan, Nak? Mama tak terlalu paham masak masakan luar, meski sudah sering ke luar negeri tapi masakan Indonesia tetap nikmat,” kata Mama Aliche bangga.

“Cinta Indonesia tapi sering sekali ke luar negeri.” Aliche menatap sinis mamanya. Alis matanya sedikit terangkat.


“Bisnis, Nak. Namanya juga kerjaan.”