Jumat, 18 April 2014

Lelaki dan Payung

Lelaki dan Payung
Oleh: Justang Zealotous

“Maaf, Sayang. Hanya payung ini yang tersisa. Aku sudah tak punya apa-apa lagi,” ucap Kino pilu sambil menunjukkan payung kecil hitam di tangan kanannya.

Heni, kekasihnya, tertunduk sedih. Ada raut kepiluan yang menghiasi wajah sendunya. Ia sadar, ini adalah keputusan yang diambilnya untuk bertahan bersama Kino—lelaki yatim piatu miskin. Orang tuanya tak pernah setuju dengan hubungan itu tapi cinta Heni pada Kino telah buta.

“Aku tak bisa memaksamu lagi. Jika kamu ingin pergi, aku sudah pasrah. Selama bersamaku, kamu selalu menderita.” Kino memelas. Wajahnya semakin pilu disertai rinai air mata membasahi pipinya. Ia membentangkan payungnya ke atas dan berjalan menjauh. Heni terdiam, tak ada aksi untuk mengejarnya.

“Ah, masa dia tidak kejar, sih? Kayaknya dia memang sudah tidak tahan bersamaku lagi,” gumam Kino pelan, “Payung, hanya ada kau dan aku kini. Semoga kita tak terpisahkan.”

***

Sudah tiga hari Kino sendiri. Hanya payung hitam yang menemaninya. Bersama saat hujan turun, melindunginya dari terik, dan menjadi rumah buatnya.

Tiba-tiba, cuaca hari itu sangat buruk. Angin menderu kencang. Kino berjalan bersama payungnya yang terbentang ke atas. Payung itu terhentak-hentak karena angin bertiup semakin kencang. Saat Kino tak lagi kuat menahan, payung itu terbang melayang. Sangat tinggi, sangat jauh.

Kino berusaha mengejar. Ia berlari gesit tapi angin kencang itu membatasi pergerakannya. Hampa sudah, payung itu kini terbang menjauh, hilang dibawa angin. Kino menjerit, menangis terisak-isak. Tak ada lagi yang menemaninya. Pakaiannya? Menurut Kino, payung itu jauh lebih berarti.

“Ya Tuhan, apa salahku hingga semuanya pergi menjauh dariku?” Kino berteriak-teriak sambil berlutut dan mengadu pada Yang Maha Kuasa.

Kino lalu menyeka air matanya. Mengusap dengan tangan kanannya. Ia berdiri perlahan dan berjalan dengan kepasrahan hati. Ia menuju ke emperan toko. Berlindung dari kegilaan angin saat itu.

Beberapa menit kemudian, angin telah berlalu. Pergi tanpa menyisahkan hujan ataupun membawa pelangi. Matahari kembali terik. Kino pun pergi dari toko itu.

Tak disangka, seorang wanita yang sepertinya tak asing bagi Kino terlihat sedang menjajaki sebuah toko. Ia sedang asyik menelusuri rak-rak di toko itu seakan mencari sesuatu. Setelah berhasil mendapatkan yang diinginkannya, wanita itu pun keluar dari toko sambil membawa kantong plastik. Kino tercekat, wanita itu ternyata Heni.

Ketika merasa dilihat oleh Heni, Kino berlari menjauh. Ia tak mau menyusahkan Heni lagi. Rupanya, Heni mengejarnya kali ini tak seperti beberapa hari yang lalu. Kino semakin melaju kencang, Heni pun tak mau kalah mengejar.

“Kino, tunggu aku!” pekik Heni berusaha menghentikan Kino. Tapi, Kino tetap berlari tanpa memedulikan Heni.

Heni semakin gesit mengejar Kino, tapi ternyata sebuah batu membuatnya tersandung dan jatuh. “Auuuwwwh!” Heni meringis kesakitan. Kino tersadar, langkah kakinya dihentikan. Ia membalik dan menghampiri Heni.

“Kau tak apa-apa?” Kino menjulurkan tangannya dan Heni meraihnya. Heni pun berdiri perlahan dengan bantuan Kino.

“Aku baik-baik saja,” ucap Heni menahan sakit, “Jangan pergi lagi! Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku membelikan payung yang lebih besar agar kita bisa bersama selalu di bawah satu payung.” Heni langsung merangkul Kino.

“Yakin?” tanya Kino tak percaya.


“Tentu saja. Cinta kita seperti payung ini, akan selalu satu untuk dua jiwa.”

Rabu, 16 April 2014

Talking about Mencintai and Dicintai

Why gotta be like this? Why doesn’t she know me? Why is she like that?

Pertanyaan itu terus berdesir di otakku. Terngiang sebelum tidur. Tercipta saat termenung.

I know, it’s really harder than I think. See her in his arms. They gripped one another. It hurts me deeply.

Jika itu terjadi setiap saat. Ketika aku menatap mereka dalam satu mata. Saling merengkuh dalam senyuman termanis. Itu lebih dari sekadar membunuhku secara langsung.

But, everything’s been different. If we think love is not forced. Bullshit! Love is defended. Our love in the hand of Allah. But if you don’t try to get after. Just welcome to aloneness.

Namun sungguhlah berbeda. Cinta yang selama ini terangkai indah dalam pikiranku bukanlah cinta yang harus didapatkan, dimiliki, hingga berkorban jutaan cara untuk memperolehnya. Cinta itu murni. Cinta itu alami. Cinta itu datang saat kau merasakannya, bukan saat kau mendapatkannya.

Don’t shoot her if you don’t want to get suffer from a lost. Perhaps, after saying love you and someone will get ‘courtship’. During your love still in blossom but inch by inch, you’ll think love is gone out. You and someone have been in another heart. No contact. No sight. No affection. All of them are lost.

Walaupun demikian, sebagai manusia biasa yang mengenal akan indahnya masa percintaan. Kita akan tetap berharap bahwa cinta itu menjadi milik kita. Memberikan kita hidup dan semangat juang yang tinggi. Namun harus tetap diingat, dicatat, dan ditulis besar-besar dalam otak kita. Jika kita siap untuk mencintai seseorang, maka kita juga harus siap kehilangannya.


Well, the choice is in your hand. Your life is yours. If you haven’t already yet, don’t try to love someone. 

Rabu, 02 April 2014

Binar-Binar Rembulan

Binar-Binar Rembulan
Oleh: Justang Zealotous

“Sayang, maaf!”

“Maaf kenapa?” Mata Heni, kekasihku, melotot tajam. Tampaknya dia heran dengan tingkahku yang mendadak aneh.

“Kita.”

“Kita kenapa?” Ia semakin kebingungan.

“Putus!”

Akhirnya kata itu berhasil menyembur dari mulutku, meski rasanya harus menelan jutaan pedih yang bersarang di otakku. Hal ini sangat berat, tapi mesti kukatakan.

“PUTUS? Dengan mudahnya kau mengatakan itu tanpa alasan yang jelas. Seperti mudahnya kau menggenggam tanganku dan berkata ‘I Love You’. Shit!” umpatnya.

Mataku beralih menatap ke bawah. Aku tak mampu menatap wajahnya yang tampak kecewa dengan tindakanku. Terutama matanya yang mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba dia memelukku. Mendekapku erat. Tangisnya pecah.

“Aku tak bisa bersamamu lagi.” Aku berusaha melepaskan dekapannya karena itu malah semakin membuatku tak sanggup harus melukai hatinya lebih dalam.

“Ren, aku tak sanggup berpisah denganmu. Kau adalah jiwaku, yang telah hadir menyelamatkan segala kehidupanku. Saat aku merasa semua meninggalkanku, kau datang dan membasuh lukaku.” Air matanya mengalir deras, sesenggukan di pundakku.

“Tolong! Hentikan! Kau tak mengerti.”

“Bagaimana aku bisa mengerti, jika kau hanya diam saja?”

Semenit kemudian, saat dia masih merentangkan lengannya dan mendekapku erat. Lolongan serigala terdengar merayu, memanggil, dan memekakkan telinga. Puncak gerhana rembulan telah tiba. Napasku semakin sesak, tubuhku bergoyang hebat. Dia kaget luar biasa dan melangkah ke belakang perlahan.

Aku merasakan anggota tubuhku kaku, sakit, panas. Sekejap, dari kaki tumbuh bulu-bulu kasar yang semakin lebat menuju kepala. Kuku-kuku mulai tampak panjang dan tajam. Wujudku akhirnya berubah menjadi manusia serigala.

Kutatap wajahnya nanar. Dia sangat ketakutan dan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tapi, sepertinya belum ada yang melintas di otaknya untuk segera berlari pergi.

“Renn...di?” ucapnya gemetaran.

“Hen, ini aku, Rendi. Alasan inilah aku tak mau bersamamu lagi karena aku adalah manusia serigala. Saat gerhana datang, aku akan semakin haus darah,” jelasku.

Dia terdiam beberapa menit. Dan, akhirnya bicara. “Baiklah, saat kauputuskan aku, itu sama halnya dengan membunuhku. Kalau begitu bunuhlah aku sekarang.” Dia menjulurkan tangannya ke arahku.

“Jangan sinting! Kau tak tahu siapa aku,” ucapku getir.

“Tak tahu? Kau adalah kekasih yang selama ini kuimpikan. Aku tak peduli dengan wujudmu seperti apa. Aku akan tetap mencintaimu sebagaimana bintang kan selalu temani rembulan di angkasa.”

Aku berpaling, dia menarik tanganku.

“Heni, lihatlah rembulan itu!” tanganku menunjuk ke langit. “Aku akan selalu jadi rembulan untukmu. Menemanimu dalam gelap.”

Dia pun menatap rembulan dengan cermat. Sementara itu, aku mencakar dadaku sendiri, menusuk hingga ke jantung. Untuk mencegah ia tak mendengar jerit kesakitanku, aku berusaha tahan. Perlahan, tubuhku melemah, aku ambruk. Aku pikir, ini jalan terbaik dari harus melihatnya mati dengan tanganku.