Jumat, 16 Mei 2014

Pangeran Jas Hujan (new version)

PANGERAN JAS HUJAN
By. Justang Zealotous

Rupaku bukan bidadari
Aku tak manis, tak juga rupawan
Aku tak menawan, cuma hati seputih awan
Gayaku bukan permaisuri, cuma cinta selalu tulus

Sajak itu selalu terukir dalam coretan hati. Terkadang tersimpul dalam secarik kertas. Berharap suatu hari nanti, akan ada seorang pangeran yang entah siapa kan membacanya dan paham tentang aku. Paham tentang perasaanku. Paham tentang adanya cinta yang selalu tulus untuk sang idaman.

Namaku Tina. Pengalamanku tentang cinta, bisa dikatakan sangat langka. Terlahir dengan wajah tak karuan begini, siapa mau? Meski yakin, Tuhan telah menyiapkan sosok yang pantas untukku.

Gadis kacamata. Rambut kepang. Riasan tebal. Mulut yang menjorok ke depan. Rahang yang moncong. Hidung yang setengah habis. Hantu sendiri bahkan muak jika melihatku. Ingin operasi plastik, biaya super mahal. Menghabiskan hartaku tujuh turunan. Tuhan pernah bilang, manusia diciptakan berpasangan-pasangan. Apa iya, aku punya pasangan juga?

Pertanyaan yang membuatku sempat putus asa itu memang selalu membelenggu hidupku. Namun, untungnya ada sesosok pria di kampus yang selalu buat hatiku berbunga. Dia Henry. Cowok tampan, tinggi, kulit putih bersih, rapi, fashionable dan dengan tubuh atletisnya yang selalu kupandangi dari jauh. Mana berani aku mendekatinya. Aku sadar diri. Dia pangeran sedangkan aku hanyalah budaknya bawahan.

Jujur. Henry yang sering kujuluki sebagai pangeran kampus itu memang menjadi inspirasi terbesarku. Demi dia, aku rela berubah jadi lebih cantik agar bisa dilirik. Tiap hari perawatan. Tapi, sepertinya takdir tidak bisa dibohongi. Henry masih saja ogah melirikku. Meski hasil perawatan itu memang hanya mengubah dari terlalu jelek menjadi agak jelek. Setidaknya, menatapku bukan hal menjijikkan untuknya, bukan?

***

Seperti biasa di kampus, aku menjadi makhluk terasing. Segitu burukkah diriku hingga terkesan buangan. Tapi, tak masalah. Dedikasiku dalam pendidikan dan sosok Henry membuatku tetap bertahan. Dia sungguh hadiah terindah dari Tuhan untukku. Meskipun hadiahnya hanya terbungkus dan terpajang di etalase kaca.

Aku berjalan sendirian. Sangat tergesa-gesa karena hari ini harus mengikuti ujian praktikum. Tuhan memang adil, walau aku dikaruniai wajah yang tak maksimal tapi otakku masih brilian. Aku tak mungkin melewatkan ujian begitu saja.

Brak! Langkah yang memburu terhenti saat menabrak seseorang. Buku-buku yang kubawa berjatuhan. Sebelum kupungut semua, kutatap orang yang kutabrak. Aku terperanjat. Rupanya orang itu Henry. Tubuhnya sangat dekat denganku, bahkan kulitnya yang mulus sempat menyentuhku. Aku pasti akan selalu ingat momen ini.

Aku tersenyum. Dia cemberut. Lalu, kugerakkan bibirku yang kaku perlahan, “Ma-af!”

Dia tak menjawab. Tampaknya sangat kesal karena kacamata yang dikenakannya terjatuh dan pecah karena saat melangkah, aku tak sengaja menginjaknya.. Wajahnya pun memerah dan siap merutuk tapi aku menunduk dan segera mengambil kacamata itu untuknya. Belum sempat kuserahkan, dia telah melangkah pergi tanpa menoleh. Kacamata itu pun kusisipkan ke saku.

Wajar dia bertindak begitu karena sepenuhnya salahku. Aku telah merusak kacamatanya. Aku sungguh merasa bersalah. Ingin rasanya minta maaf walau tak cukup berani. Aku tak mau buat dia kesal karena kebodohanku.

Kutarik napas pelan-pelan, lalu memungut buku-buku yang sedari tadi berserakan di tanah. Kemudian melanjutkan langkahku. Aku tak mau terlambat dan mendapat penyesalan dua kali hari ini.

***

Ujian praktikum selesai. Sementara kurapikan meja, mataku tiba-tiba berpaling ke kaca bening di laboratorium, di sana ada Henry sedang berjalan. Jantungku berdegup. Sejauh ini saja dia mampu membuat terlena, bagaimana kalau dekat. Aku harus segera membereskan semuanya sebelum terlambat. Aku ingin minta maaf. Harus. Ini kesalahanku.

Kuambil tas merah di atas kursi dan menggantungnya ke pundak. Lalu mengambil langkah cepat menuju ke luar. Saat di bahu pintu, kutatap sekeliling. Rupanya dia sudah ada di ujung koridor, selangkah lagi langkahnya akan menghilang.

Aku tak akan kehilangannya kali ini, kata maaf itu harus terucap. Entah dia terima atau tidak, yang jelas tidak menyimpan beban. Kukejar dia dengan langkah seribu, sesekali juga kuteriakkan namanya agar dia memalingkan wajah dan menyadari panggilanku.

Rupanya semua sia-sia, napasku yang sudah sengal-sengal tak berhasil menggapainya. Dia lebih dahulu menaiki mobil sporty merah miliknya dan melaju kencang. Aku mengatur napas kembali dan meraih kacamatanya di saku. Aku pasti bisa minta maaf padamu. Batinku.

Aku memang sudah terlambat hari ini. Tapi, aku tetap yakin niatku yang baik untuk minta maaf akan segera membawaku padanya, cepat atau lambat. Kumasukkan kembali kacamata itu ke saku. Satu-satunya benda miliknya yang kini di tanganku. Sungguh bahagia.

***

Sudah hampir gelap, atau mungkin karena langit sedang mendung. Awan hitam bergerombol di atas sana. Sepertinya akan hujan. Kuraih payung yang kusematkan di tas. Payung hijau totol-totol yang memang selalu kubawa, apalagi musim hujan begini. Meski aku pencinta hujan tapi beberapa buku kuliah harus diselamatkan. Daripada basah, rusak, mending sedia payung sebelum hujan.

Segera kutarik benang panjang pada payung dan seketika itu kain payung terbentang ke atas. Aku melangkah menelusuri jalan pulang di bawah lindungan payung. Benar saja, beberapa menit berjalan, angin sudah menderu. Dedaunan di pohon menari-nari. Payungku ikut bergoyang tak terkendali. Kupegang erat-erat agar tak melayang.

Setengah perjalanan, petir ikut bergemuruh. Bersahut-sahutan memecah angkasa. Titik-titik air yang berjatuhan segera datang. Sementara payungku kian tak terkendali karena amukan angin. Aku berusaha menggenggamnya dengan sekuat tenaga.

Tak berselang lama, genggaman tanganku tak cukup erat hingga payungku melayang terseret angin. Aku mencoba mengejar tapi angin kian menerbangkannya semakin jauh. Benar-benar tak berguna, aku terlalu lemah hingga itu terjadi.

Aku cemas ketika hujan datang dan membasahi seluruh tubuhku, juga tasku. Buku-buku yang kusimpan bisa rusak. Itu akan semakin membuat aku menggundah. Tapi, aku tak mungkin berdiam diri, berharap hujan menyurutkan niatnya untuk turun hari ini. Itu sungguh mustahil dan benar-benar bodoh. Sebaiknya mencari tempat berteduh.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya pepohonan yang rindang berjejer rapi di tepi jalan. Halte bis mana?  Tanda-tanda hujan semakin nyata. Petir bergejolak. Angin menderu hebat. Awan menghitam. Aku masih saja seperti orang tolol. Membisu.

Di tengah cemasnya hati, sesosok dari kejauhan berjalan ke arahku. Langkahnya semakin mendekat. Apakah dia malaikat yang diturunkan untuk melindungiku? Semakin dekat dan semakin jelas. Dia agak tinggi, pakai jas hujan, dan membawa payung.

Tunggu! Payung itu tak asing. Payung itu payungku. Apakah dia benar-benar malaikat? Bukan, dia seperti pangeran. Pangeran yang membawa payungku. Aku ingin memperhatikan wajahnya tapi tertutupi oleh masker penutup mulut dan hidung . Tak masalah yang penting payungku telah kembali.

“Ini payungmu?” tanyanya seraya menyerahkan payung itu.

Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengambil payung dari tangannya. “Terima kasih!”

“Tak masalah. Tadi tak sengaja melihat payung itu terlepas dari tanganmu hingga melayang-layang. Untungnya melayang dekat ke arahku, jadi mudah untuk mengambilnya,” jelasnya.

Aku cuma bisa tersenyum, mulutku kaku. Dia sungguh baik. Aku tak pernah menemukan pria sebaik dia. Tuhan memang tak pernah tidur, Dia mendatangkan seorang pangeran jas hujan ke bumi untuk menolongku.

“Sebaiknya kamu pegang payung itu erat biar tak terbang lagi. Hujan segera datang dan tak baik untuk kesehatanmu,” sarannya dengan nada lembut. Tak ada kepalsuan pada setiap ketukan kalimatnya.

Oh Tuhan, pangeran yang Kau turunkan untukku ini sangat baik? Batinku. Aku menatapnya sayup-sayup sambil tetap tersenyum. “Sekali lagi terima kasih.”

Dia mendesah. Desahan napasnya terdengar jelas.

“Boleh tanya, tidak?” pintaku.

“Tentu boleh!”

“Kenapa kau menolongku? Apakah tidak malu dekat denganku? Selama ini tak pernah ada yang dekat denganku karena wajah yang buruk.”

Dia tertawa kecil dan kemudian menjawab, “Aku menolongmu karena wajib. Kenapa harus malu? Orang yang tak mau dekat denganmu, berarti mereka buta.”

Aku terdiam membisu. Seakan terhipnotis akan kalimatnya yang syahdu. Tak percaya ada orang yang mengucapkan demikian. Hening beberapa saat hingga hujan datang memecah kesunyian.

“Hujan sudah datang. Kita ke bawah pohon itu, yuk!” ajakku.

“Untuk apa?” tanyanya.

Keningku mengerut, “Kalau di bawah pohon, kan, biar hujannya tak cukup deras.”

“Oh, baiklah. Kamu ke sana dan biar aku di sini! Aku suka hujan.”

Dia suka hujan? Aku juga. Apakah kita jodoh? Tidak, dia bukan jodohku. Jodohku pangeran kampus. Aku tak mungkin berpaling hati. Cintaku sudah tulus untuknya. Jika aku mencintai pangeran jas hujan, berarti tak punya cinta lagi. Hanyalah khianat.

Terpaksa kusurutkan niatku ke bawah pohon. Tak mungkin membiarkan dia sendiri. Itu terlalu egois. Saat dia membantuku, aku malah kabur tak tahu malu. “Aku juga suka hujan. Baiklah, aku akan menemanimu di sini,” putusku akhirnya.

“Wah, kita sama dong. Tapi, buku kamu bakal basah jika tetap bertahan di sini. Atau begini, kita berjalan pulang saja. Rumahmu ke barat, kan?” sarannya lagi.

Aku mengangguk pelan.

Kami berjalan bersama di bawah derasnya hujan. Aku di bawah lindungan payung, sementara dia dalam lindungan jas hujan. Aku memintanya untuk sepayung berdua tapi ditolak karena menurutnya tak baik, bisa menimbulkan fitnah.

***

Sepanjang perjalanan, tak lupa saling mengenal. Dia Hasyim. Dia mahasiswa tapi tak bilang kampusnya di mana. Dia suka hujan karena menurutnya sangat indah ketika setiap tetesan itu berjatuhan dan memercik seperti lantunan lagu. Hujan juga membuatnya bahagia karena terus mengingatkannya pada orang yang dicintai. Dia tak bilang siapa orang itu.

Selama perjalanan itu pula, kami mengobrol banyak hal. Aku sangat suka ngobrol dengannya. Nyambung dan hangat. Aku juga sempat menceritakan ketertarikanku dengan Henry. Tapi entah kenapa setiap aku bercerita tentang Henry, dia seperti tersedak, batuk-batuk. Apa dia cemburu? Tak mungkin. Baru saja bertemu dan kenalan.

Sudah hampir masuk gang rumahku. Hujan perlahan mereda. Aku belum jua sempat melihat wajahnya. Dia pamit duluan dan bergegas pergi. Namun sebelum beringsut meninggalkanku, dia tak lupa meminta nomor handphone. Dia berlindung sejenak di bawah payung dan mencatat nomorku ke handphone-nya. Dia janji akan menghubungiku malam ini.

***

Senja kemerahan baru saja menghilang. Di bawah sinar bulan purnama, kubuka jendela lebar-lebar dan menatap jutaan bintang di langit. Kubayangkan rupa Henry dan menyatukan setiap rasi bintang, seakan dia sedang tersenyum manis ke arahku. Entah kapan dia mau membuka hatinya untukku? Aku selalu menunggu hari itu tiba.

Terus kupandangi bintang yang sesekali mengerling, juga lamunanku tentang Henry yang masih bertahan. Tiba-tiba handphone berdering. Dengan gesit langsung kuraih handphone yang tergeletak di sampingku dan segera memencet tombol angkat.

“Henry?” terkaku.

Dia terdiam. Tak ada suara di ujung sana. Aku langsung menepuk jidat. Betapa bodohnya aku. Dia tidak mungkin Henry. Sejak kapan Henry tahu nomorku?

“Maaf, aku pikir temanku. Ini siapa, ya?” tanyaku lagi.

Agak lama terdiam, hingga jawaban dari sana terdengar jua, “Maaf Tina. Ini nomor aku, Hasyim. Ganggu, ya?”

“Oh, kamu. Tidak kok. Maaf, yah, soal tadi,” balasku.

“Ngga apa-apa. Kayaknya kamu suka, ya, sama Henry? Dari kemarin sebut Henry terus.”

Aku tersenyum dan kembali membayangkan Henry. Lalu, lanjut berucap, “Tapi kayaknya dia tidak suka sama aku. Aku jelek, dia tampan.” Aku memasam. Kembali kudongakkan kepalaku, bintang perlahan semakin sedikit. Hanya satu yang cerah, setia menemani bulan.

“Kenapa bilang begitu? Tak pernah ada yang tahu takdir Tuhan seperti apa. Bisa saja kamu berjodoh dengan dia. Jangan sedih, ya!” ucapnya menyemangati.

Dia begitu perhatian padaku. Kami menelepon semalam suntuk. Membicarakan banyak hal. Memang tak terasa waktu saat mengobrol dengannya. Mungkin terlalu asyik hingga jam yang terpajang di dinding kamarku telah menunjukkan tengah malam. Kami masih saja mengobrol.

Namun akhirnya kantuk mengalahkanku. Mata tak lagi kuat menahan. Kuputuskan untuk mengakhiri panggilan itu. Tapi hubunganku dengan Hasyim dalam sambungan telepon bukan cuma malam itu. Tiap malam, kami selalu menelepon. Kadang dia dahulu, kadang pula aku yang menelepon duluan.

Hasyim memang menjadi temanku kini, tidak lebih. Aku tidak ingin mengkhianati perasaanku sendiri kalau nyatanya hatiku masih untuk Henry, bukan dia. Aku juga memang tak pernah bertemu dengan Hasyim. Hanya sekali, saat hujan kemarin.

***

Menghadap ke depan, lebih jauh, atau ke arah esok fajar bakal semburat. Kini harus kuhadapi semuanya. Henry tepat di hadapanku. Dia sedang berdiri, menyandarkan punggungnya ke dinding bersama temannya yang lain. Siapkah aku? Beranikah aku? Itu tak penting lagi harus dipikirkan. Hal yang sukses bukan apa yang dipikirkan tapi apa yang akan dilakukan.

Aku berjalan mendekatinya perlahan. Kuraih kacamatanya yang kusisipkan di saku. Meski bentuknya sudah tak terlalu baik, tapi bagian pengaitnya telah kusambung dengan plester bening, kacanya juga sudah kuganti. Aku memperbaikinya seminggu penuh. Aku melakukan ini demi dia. Demi rasa bersalahku padanya. Demi cinta yang tak pernah berkurang untuknya selalu.

Selangkah lagi, aku menyapanya dengan rasa bersalah, “Henry, aku minta maaf!”

Dia berbalik. Jantungku berdebar. Wajahnya kusam menatapku. Lalu, aku menjulurkan tangan dan menyerahkan kacamata. Dia terdiam lama hingga akhirnya mengangkat tangan ke atas dengan telapak tangan terbuka, kemudian mengibaskannya dan merebut kacamata itu paksa. Belum sampai itu saja, dia lalu mengempaskan kacamata ke lantai. Aku terkejut.

“Siapa tuh, Henry?” tanya lelaki di belakangnya.

Henry tak menjawab dan langsung merutuk ke arahku. “Masih berani dekat denganku? Enyah kau!” ucapnya sinis dan segera mengempaskan tubuhku, lalu melangkah pergi.

Hatiku sakit. Seakan diremuk dan dicabik-cabik. Air mataku masih tertahan, hanya ingin menjerit sekencang-kencangnya. Aku tak percaya dengan yang baru saja terjadi. Apakah ini cinta yang sebenarnya saat cinta dibalas dengan pedih?

Aku tak tahan lagi. Aku mengambil langkah tercepat. Berlari sejauh-jauhnya. Awan tampak hitam dan angin perlahan mengencang. Hujan mungkin datang. Itu lebih baik. Biarkan hujan temani aku yang sedih, biarkan hujan temani linangan air mata yang mulai menderai.

Saat hujan akhirnya tumpah,  kurentangkan tanganku dan biarkan titik-titik air itu membasahiku. Segera kulepaskan semua rintihan hati. Aku menjerit bersama jeritan petir yang menggejolak. Ini alasan mengapa aku suka hujan, bisa menangis dan berteriak tanpa ada yang tahu.

Tak berselang lama, seseorang datang membentangkan payungnya untuk melindungiku. Kutatap orang itu dengan mata sembap.

“Tina? Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya.

“Hasyim? Aku baik-baik saja. Aku hanya terharu dengan hujan yang sangat indah hari ini,” sergahku.

Dia tertawa. “Memang indah. Tapi, kalau kamu punya masalah, ceritalah!”

“Hmhm, aku tak punya masalah. Aku boleh minta sesuatu?”

“Tentu saja!”

“Boleh aku lihat wajahmu? Ah, agak aneh saat kita dekat malah tak pernah lihat wajahmu? Atau, jangan-jangan—“

Dia terdiam tapi agak aneh dan memalingkan wajahnya ke kiri. Seakan menyembunyikan sesuatu. Namun, dengan jahil kutarik penutup kepala jas hujannya, begitupun masker yang menutupi mukanya. Aku tertawa geli karena berhasil melakukannya. Tapi tiba-tiba tawa itu terhenti saat melihat wajahnya. Sungguh di luar dugaan.

“Hasyim? Henry? Kau Henry atau Hasyim? Atau Henry Hasyim itu satu?” tanyaku sangat tak percaya. Wajahnya sungguh mirip dengan Henry. Jadi, selama ini aku dekat dengan dua orang berbeda yang nyatanya sama. Aku benar-benar bodoh.

“Aku bisa jelaskan!” pintanya.

“Apa lagi yang harus dijelaskan? Kamu mau bilang lakuin ini semua karena mau mempermainkan aku. Biar semua orang tahu kamu keren. Yah, kamu keren. Karena kamu keren, aku sangat mencintaimu. Tapi, rupanya persepsi aku tentang cinta itu salah. Cinta yang benar itu apa yang kita rasa, bukan yang kita lihat. Sukses!”

“Tina, dengarkan aku dulu!” Dia mulai mengiba tapi wajahnya terlalu bulus untuk kuperhatikan kini.

Aku menjerit lagi. Aku tak ingin mendengar suaranya. Tiap kali melihatnya, aku terus terluka lebih dalam dan lebih sakit. Lalu, aku segera berlari menjauh. Meninggalkan dia yang kini berlutut berharap aku mendengarkannya. Tapi itu tak mungkin, aku sudah terlalu kesal. Rutukan barusan menyadarkan kebodohanku.

***

Petir masih bergemuruh dan hujan terus menimpa bumi. Sesaat kemudian, sebuah mobil sporty merah datang dan berhenti dekat dengan Hasyim. Saat kulihat wajahnya. Dia mirip dengan Hasyim atau Henry. Siapa lagi dia? Apakah dia pangeran mobil? Pikiranku kacau. Sangat rumit untuk memikirkan mereka semua.

  Masih kugerakkan kakiku dan melangkah pergi. Tak terduga, sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Lajunya tak terkendali. Aku pasrah dan tak akan menghindar. Aku lebih baik mati daripada terus ditipu oleh kebodohan.

Kupejamkan mataku. Tuhan, maafkan aku! Aku membatin. Kutunggu mobil menabrak namun tubuhku terlempar. Seseorang mendorongku dan membuat aku terlempar ke tepi jalan. Kuarahkan pandangan ke jalanan dan sudah terkapar seseorang di sana. Dia Hasyim? Hasyim atau Henry yang menolongku.

Aku segera berlari menghampirinya. Berkali-kali dia memuntahkan darah. Aku berlutut dan menopang tubuhnya. Air mataku masih berderai.

“Tina, maafkan aku yang tak bisa jujur padamu!” ucapnya masih terbata-bata, agak tidak jelas tapi aku masih mampu memaknainya.

“Jangan banyak bicara dulu! Kita harus ke rumah sakit!” tuturku.

“Aku Hasyim, Tina. Henry kembaranku. Aku sengaja merahasiakan identitasku karena ingin lebih dekat denganmu, aku tahu kamu lebih menyukai Henry daripada aku,” jelasnya lagi. Henry yang dimaksud segera datang.

Aku menatap Henry lamat-lamat saat dia menggenggam tangan Hasyim penuh penyesalan. Air matanya tak berderai tapi yakin hatinya menjerit.

“Aku tidak bermaksud membohongimu. Tina, kamu baik. Aku banyak belajar darimu. Arti cinta yang kaumaksud benar, aku merasakan cinta bersamamu bukan saat melihatmu.” Hasyim terus berbicara, sementara darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak. Aku menyuruhnya berhenti karena tak tahan menatapnya terluka tapi dia tetap melanjutkan, “Tiap hari aku menatapmu dari jauh. Aku tak berani mendekatimu karena wajahku yang mirip dengan Henry. Aku takut kamu tak mau dekat denganku.”

Hasyim memaksa tubuhnya bergerak. Dia meraih sesuatu dari dalam sakunya, yakni kacamata Henry. Dia menunjukkan kacamata itu. “Henry, jaga Tina untukku! Dia sangat mencintaimu lebih dari dirinya sendiri. Ada banyak hal yang dia lakukan demi kamu. Jangan sia-siakan cinta yang dia miliki untukmu!”

Reflek aku memalingkan wajahku ke arah Henry. Dia menatapku balik. Kami bertemu dalam satu mata. Entah kenapa debaran jantung itu tak lagi kuat dari sebelumnya. Kembali kuarahkan mataku pada Hasyim dan matanya telah terpejam. Nadinya pun tak terasa. Dia telah tiada bersama cinta yang telah kami genggam.

Watampone, 16 Mei 2014

Justang Zealotous


Related Story for Cerpen ,Fiksi ,Romance

Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. Nah kalau yang ini maryam rasa lebih sedikit masuk diakal, hehehe
    ada gregetnya, ternyata kembarannya Henry. (Y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas komentarnya. Jadi, lebih bagus ini dari old-version?

      Hapus

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL