Sabtu, 03 Januari 2015

GALAU? Curhat Sama Allah

GALAU? Curhat Sama Allah
Oleh: Justang Zealotous

GALAU? Curhat Sama Allah
Ya Allah, masih kuingat kala itu, di mana kegelisahan menghantui hidupku. Maka, izinkanlah aku curhat padaMu karena tempat curhat terbaik hanya padaMu.
Jika masa putih abu-abu kita masih bisa bersantai ria sambil mojok bareng teman di kafe tanpa peduli dengan dunia yang akan digenggam nantinya, maka masa kampus bukan lagi waktunya untuk bersifat labil. Dunia nyata akan segera disambut, siap tidak siap mesti bertarung dengan otak atau otot yang dipunya.
Seperti halnya ketika gerbang SMA telah kulewati. Aku mesti siap menjadi mahasiswa dan pertarungan segera terjadi. Dari katanya saja, maha dan siswa. Itu berarti bukan sekadar pelajar ingusan yang disuapi ilmu tapi sudah saatnya mencari ilmu dan memakannya sendiri.
Setelah memilih program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Segera pula pengalaman kucari untuk menunjang tujuan utama nanti, menjadi seorang guru. Di antaranya, gabung pada organisasi kepenulisan. Biar kepercayaan diri bisa meningkat.
Aku juga ikut kursus Bahasa Inggris. Bukan tanpa sebab, melainkan bahasa yang satu itu kuanggap sebagai bahasa dunia. Jika ingin menguasai dunia, maka kuasai dulu bahasanya. Selain itu, seseorang yang sudah seperti keluarga tiba-tiba mengajakku bekerja di travel, ini bisa jadi pengalaman yang paling berharga, pun penambah uang jajan.
Semua terasa terkendali walau mesti kuliah, kursus, kerja. Beban yang paling besar kupikul tentang waktu. Tentang bagaimana mengatur jadwal yang sudah semakin sibuk. Pergi pagi terus pulang sore, saat malam juga kadang mesti kerja lagi. Malahan Ibu pernah menyindir dengan sindiran halus, kayak artis saja yang tidak punya waktu untuk keluarga, katanya. Aku hanya mampu menggeleng pasrah, karena kutahu dari usaha besarku ini akan menghasilkan hal yang besar pula. Itu memang butuh proses, walau lama.
***
Hingga pada satu waktu, semua terasa morat marit. Aku bahkan bingung kenapa itu mesti terjadi. Jadwal kuliah dan kursus adakalanya bertabrakan. Kalau soal kerja, pada dasarnya memang seperti keluarga, dia membebaskanku masuk kapan saja ketika ada waktu luang walau kadang tidak sampai hati jika tak pernah masuk karena jadwal kuliah dan kursus padat.
Aku berusaha memperbaiki semua waktuku dengan baik. Tapi, teman satu ruangan di kursus malah bertindak egois atau jadwal kuliahnya juga padat. Semakin bingung karena memang cuma aku yang prodi bahasa Indonesia, sementara lainnya berasal dari prodi bahasa Inggris. Tentu satu-satunya penghalang mereka hanya aku.
Pernah kuminta untuk privat ketika memang tak ada waktu yang cocok untuk belajar bersama. Namun, kata instruktur yang mengajar di tempat kursus, pasti ada jalan keluar dari semua itu. Yah, aku tahu itu tapi akan terlalu menghabiskan banyak waktu jika terus memikirkan jalan keluarnya.
Setelah berembuk mengenai jadwal kursus yang tepat dengan teman lainnya. Akhirnya kita punya jalan keluar itu, beberapa hari yang harus kuisi dengan kursus dan mengabaikan sejenak kerja di travel. Walau dari itu, sesekali kursus dibatalkan saat ada kuliah mendadak. Teman-teman pun mulai sering menyalahkanku sebagai pengganggu.
Aku tak mungkin berhenti kursus hanya karena dicap sebagai pengganggu. Aku juga punya tujuan utama, pun sama-sama sebagai pelajar di tempat itu. Jadi, mesti tanggung resiko pada setiap yang terjadi.
***
Memang masih kelimpungan pada pengaturan jadwal. Tapi, aku mesti cermat mengatur waktu agar semua itu berjalan dengan baik.
Setelah seharian kuliah, kursus, juga kerja. Kulihat pembayaran sedang menenggak bulan itu. Ekonomi keluarga yang menengah ke bawah membuatku harus ekstra berpikir untuk membiayai kursus selama per bulan. Mau bagaimana lagi? Kemauan untuk kursus ada pada diriku sendiri.
“Berhenti dari kursus saja. Toh, sama sekali tak ada hubungannya bahasa Inggris dengan jurusan yang kau punya,” protes Ibu. Kakak malah ikut mojokin.
“Bukan soal ada hubungannya atau tidak, Mak. Tapi, bahasa Inggris itu penting,” balasku membela diri.
“Kalau penting, kenapa tidak awal pilih jurusan bahasa Inggris saja?”
“Dari niat, kan, memang sudah mau bahasa Indonesia.”
“Terus liat tuh! Mau biayain kuliah kamu aja sudah ribet. Tambah lagi kursus. Sudah kerja malah gaji tak memuaskan.” Ibu naik pitam. Aku tak mungkin diam saja karena sadar semua ini sudah sepatutnya harus dilakukan.
“Iya, Mak. Insya Allah, dari semua ini kita pasti dapat yang lebih baik, kok. Prosesnya saja yang butuh waktu lama.” Aku meyakinkan. Ibu tersenyum, namun bukan senyum kelegaan.
Ibu masih saja durja. Bahkan terus memaksaku untuk berhenti di kursus atau cari pekerjaan lain yang lebih membantu keuangan. Namun, aku tak bisa memilih. Aku mesti melakukan keduanya karena punya sasaran utama yang harus dituju, sebuah kesuksesan. Jika aku berhenti di kursus, tak lagi ada ilmu penunjang untuk masa depanku.
Setelah berdebat dengan Ibu yang membuatku kian detik harus menelan ludah. Hari yang kujalani semakin amburadul. Bukan karena apa, tapi itu terus menjadi beban pikiranku.
Soal waktu, bisa saja kuatur semaksimal mungkin, tapi kalau soal biaya malah buatku nelangsa. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa untuk meringankan beban keluarga atas biaya yang kutanggungkan.
Kau tahu? Gaji yang kudapatkan bekerja di travel itu sungguh hanya sebagai uang jajan karena masuk kerja memang tidak intensif. Selain itu, travel yang dibina masih baru dan sosialiasi pada masyarakat pun masih jarang. Terkadang dalam seminggu cuma bisa menjual tiga sampai empat tiket, itupun kalau beruntung. Bagaimana bisa mendapatkan gaji yang besar?
***
Suatu hari, ada pesan singkat yang masuk di ponselku kalau ada kursus pukul 1 siang, sementara bos di travel menghubungi kalau ada yang pesan tiket dan mesti kukerjakan segera. Pada pagi hingga siang, jadwal kuliah padat dan tak mungkin kutinggalkan.
Dengan penuh percaya diri, kuyakinkan pada hati bisa menyelesaikannya dengan baik. Aku pun mengikuti kuliah secara disiplin. Saat pukul 1 siang tiba, segera kulangkahkan kaki menuju tempat kursus.
Aku menunggu begitu lama, setidaknya ada setengah jam berlalu namun belum juga ada seorang pun yang datang. Bos terus saja menghubungi atas tiket tapi tetap saja kuabaikan karena menunggu kursus mulai.
Setelah hampir setengah tiga, tiba-tiba pesan singkat masuk ke ponsel memberitahukan kalau kursus hari itu dibatalkan dengan alasan tak ada yang bisa masuk, katanya sih capek. Berang rasanya mendapatkan info itu. Kenapa alasan capek jadi penghalang semuanya? Aku juga capek. Bahkan sangat capek. Aku mengelus dada dan berusaha sabar menerima.
Kemudian, segera aku menuju ke tempat kerja. Di sana tak ada bos. Dengan perasaan masih gusar, aku langsung mengerjakan tugas untuk pesan tiket buat seseorang yang sedari tadi menghubungi. Setelah berunding lewat telepon tentang harga dan segalanya. Pekerjaan itu akhirnya selesai. Aku menghembuskan napas lega.
Tiket yang dipesan sudah kucetak dan siap diberikan. Bos akhirnya datang saat sore harinya.
“Bagaimana dengan tiket yang dipesan tadi?” tanyanya.
Aku menyodorkan amplop berisi tiket itu padanya. Dia menerima dengan senang hati. Perasaanku agak sedikit tenang dibuatnya. Setelah tiket itu berulang kali dibacanya, matanya membelalak tajam. Aku bingung namun tak berani kutanya mengapa.
“Coba cek tanggal keberangkatannya?” Dia mulai bertanya. Jantungku berdegup kencang.
“Hari ini, Pak,” jawabku dengan pasti.
“Hari ini? Itu beberapa jam yang lalu dan artinya tiket ini sudah kedaluwarsa. Mana mereka sudah bayar lagi.” Wajahnya memerah.
Aku menunduk malu. Ya Allah, apa yang telah kuperbuat? Batinku. Semua seperti bertimbun-timbun banyak sekali membebaniku. Di mana aku harus mengganti uang yang ratusan ribu itu, bahkan hampir sejuta? Uang kursus saja aku masih kelayapan. Ingin rasanya teriak dan menghunuskan pedang ke jantung begitu saja. Betapa bodohnya aku!
Lalu, aku pulang dengan perasaan paling gundah. Aku benar-benar galau. Wajahku sedari tadi begitu masam memikirkan uang yang mesti kuganti. Ibu yang memperhatikan diriku tak banyak tanya. Aku pun juga lebih memilih diam. Tak pernah kuceritakan masalah ini, biar kutanggung sendiri.
Ketika malam merangkak datang, tak pernah tenang jiwaku. Makan pun terasa tak enak. Setiap ibu mulai bertanya, aku hanya bisa menjawab kalau tak dalam masalah. Aku benar-benar tak ingin melibatkan Ibu ataupun yang lainnya ke dalam masalahku, pun sebenarnya aku malu akan semua ini.
Malam semakin malam, tak juga lelap tidurku. Kesalahan fatal tadi terus menghantui diriku, bahkan tiap memejamkan mata terus kuingat kejadian itu. Ya Allah, apa yang terjadi padaku? Lalu, kupikir untuk segera mengambil wudhu.
Meski memang tak lelap, tapi aku sudah tidur walau hanya sebentar. Aku pun salah tahajud untuk memohon dan berserah diri karena kutahu hanya Allah kini tempat mengadu. Tak ada teman curhat terbaik selain padaNya.
Usai melaksanakan dua rakaat, aku menengadahkan tangan dan memanjatkan doa. Terus kumohon agar diberikan ketenangan jiwa dan hati. Dilancarkan segala urusan. Aku tahu, tak ada yang berjalan dengan percuma di dunia ini, pasti semua ada hikmah di baliknya. Di sela-sela berdoa, setetes bening di sudut mataku terjatuh membasahi pipi.
***
Pagi harinya, aku masih belum bisa melupakan kejadian sebelumnya. Namun, aku berusaha bangkit dari keterpurukan ini. Begitupun ketika berada di kampus, teman-teman memperhatikanku dengan penuh selidik. Mereka mungkin agak bingung dengan tampangku yang terlihat bungkam. Walau sekali-kali aku berusaha menciptakan senyum itu pada mereka.
Saat kembali di tempat kerja, sejujurnya aku tak ingin masuk hari itu karena masih sangat malu dengan yang kemarin tapi mesti bersikap profesional. Bos juga memperhatikan aku agak berbeda, tentu dia tahu mengapa aku terlihat durja begitu.
“Tak perlu sedih. Lupakan saja soal kemarin! Itu memang resiko kerja. Kalau begini saja kamu tidak kuat, bagaimana nantinya ketika kamu sudah kerja di perusahaan yang besar. Kau tahu? Semakin besar seseorang maka semakin besar pula resiko atau beban yang mesti dipikulnya,” ucapnya. Aku hanya bisa mengangguk lemah.
“Ya sudah, cepat ambil barang-barangmu!” suruhnya yang membuat aku bingung. Apa dia ingin mengusirku?
Lalu, tiba-tiba dia membonceng dan membawaku ke suatu tempat. Aku terus bertanya-tanya dalam hati entah ke mana dia akan pergi. Aku bahkan semakin kaget ketika ternyata dia singgah di warung makan. Katanya sih dia ingin mentraktirku makan agar aku tidak muram lagi. Aku benar-benar tidak mengerti tapi sungguh baik yang dia tunjukkan padaku. Bahkan dia menyuruhku untuk melupakan soal uang itu.
Entah sekarang perasaanku sulit digambarkan seperti apa. Sejujurnya aku masih gelisah karena bagaimanapun juga itu semua salahku. Tapi, ketika dia memintaku untuk melupakannya, sedikit mengurangi kegelisahan itu. Ketika di rumah, Ibu tiba-tiba menghadang langkahku. Entah apa lagi yang ingin Ibu debatkan.
“Ini, Nak, untuk biaya kursusmu! Semoga kau bisa meraih yang kau impikan itu.” Ibu menyodorkan uang dan seakan menghapuskan semua rasa gelisah di dadaku.


Watampone, 20 November 2014

Jumat, 02 Januari 2015

CERBUNG: Sepucuk Senja untuk Cinta [Bagian 3]

-saat tawa dan tangis adalah hal yang sama-
[Bagian 3]


Setelah di depan gerobak penjual bunga, mata Ewin langsung tertuju pada dua tangkai mawar. Ia pun mengambilnya dan meletakkan masing-masing di kedua tangannya. Setangkai mawar oranye di tangan kanan dan setangkai mawar kuning lagi di tangan kiri.

“Oranye atau kuning? Cinta atau persahabatan?” tanya Ewin bingung, sekaligus gundah teramat dalam.

***

“Mas, mau beli, tak?” tanya penjual bunga cemberut, ia sudah terlalu penat menunggu sekitar dua puluh menit, Ewin masih saja menatap dua tangkai bunga di tangannya.

“Sabar, Mas! Aku pasti beli, hanya saja belum tahu mau pilih oranye atau kuning.” Ewin memelas.

Jam berdetak, semenit dua menit berlalu begitu saja. Semuanya semakin jenuh menunggu. Fahmi malah berkali-kali menguap karena kantuk yang tak tertahan, dan ia mulai bersandar pada bahu Ryan. Sementara si penjual bunga memasang muka sinis lantas Ewin masih belum menjatuhkan pilihan.

Ewin benar-benar bingung. Ia seakan kehilangan akal tentang kedua tangkai yang sudah hampir layu tersebut. Baginya, ini pilihan tersulit. Bagai memilih dicabik hewan buas atau dibakar api yang berkobar.

Ia memang sungguh mencintai Ayu bahkan ia sangat ingin memilikinya tapi bagaimana jika pilihan oranye tersebut membuatnya buruk di mata Ayu. Ia dianggap terlalu ambisius dan pencuri hati orang lain. Atau, malah pilihan kuning tersebut yang akan semakin membuatnya jauh dari Ayu. Ah, bingungnya tuh kebangetan!

“Pilih saja, saudara! Ikuti kata hati. Kata orang sih kata hati tak bakal bohong karena itu langsung dari-Nya. Dan, kau yang lebih pantas menentukan jalan hidupmu sendiri. Pun aku juga tahu kalau pilihanmu adalah kebahagiaanmu,” usul Ryan. Ia seperti motivator di acara tipi.

Fahmi kembali menguap, lalu ditutupnya mulut dengan tangan. “Sudah selesai ceramah, Bro?” sindir Fahmi. “Ewin, cepat pilih! Ini sudah setengah jam dan lu masih belum membeli setangkai pun. Atau begini, lu beli keduanya saja. Kalau ia anggap itu sebagai cinta dan ia senang, syukur. Kalau ia anggap itu sebagai persahabatan, itu berarti sahabat dengan kasih sayang luar biasa.” Fahmi menghentikan omelannya dengan terengah-engah.

Ryan dan Ewin langsung melongo tak percaya mendengar Fahmi berbicara panjang lebar, termasuk si penjual bunga yang ikutan mendesah lega.

“Wah! Hebat banget kau, Fahmi. Aku setuju dua ratu persen dengan usulan saudara kita ini.” Ryan terus memuji Fahmi sambil memukul-mukul pundaknya.

“Iya, itu ide luar biasa bagus.” Si penjual bunga ikut membenarkan. Ia bahagia karena akhirnya mau dibeli juga yang sedari tadi ditunggunya dengan kesal.

Ewin tersenyum lebar. “Oke! Mas, berapa harganya?”

“Tunggu!” Ryan tiba-tiba berteriak dan membuat semuanya terkejut. “Aku pernah baca diCatatan Legawa, perpaduan oranye dan kuning bermakna antusiasme, hasrat, dan hal-hal yang memberikan semangat pada sebuah hubungan. Bagus, kan? Selain itu, jumlah mawar juga bisa memiliki makna berbeda, misalnya untuk dua tangkai mawar mengucapkan rasa terima kasih, dua belas tangkai untuk cinta yang tak terbantahkan, dua puluh lima tangkai untuk ucapan selamat, dan lima puluh tangkai untuk cinta yang tak bersayarat. Nah, mau pilih mana?” jelas Ryan.

“Ryaaan! Jika lu terus memberinya pilihan, kita bakal nunggu lagi. Dan, gue udah capek menunggu. Ambil dua tangkai saja, terserah itu maksudnya terima kasih untuk apaan,” gerutu Fahmi. Ia segera menarik tangan Ewin untuk pergi.

“Eh, tunggu dulu! Aku belum bayar, nih,” tegur Ewin.

Si penjual bunga masih memasang muka masam. “Nggak perlu dibayar. Gratis saja asal bisa membuat kalian pergi dari sini.”

“Maaf, maaf!” ucap Ewin merasa sangat bersalah.

“Alaaah! Jangan marah, Mas. Cepat tua nanti,” goda Fahmi.

“Pergiii!!!” pekik si penjual bunga tersebut dan langsung membuat Ewin serta kedua sahabatnya berlari terbirit-birit.

***

Ewin berkali-kali menatap arloji di tangan kanannya. Pukul empat lima puluh sore, sebentar lagi sinar redup berwarna ungu bakal muncul di langit cerah sebelah barat. Itu waktu yang indah untuk memberikan kado terhebat buat Ayu.

Waktu tersebut dipilih Ewin juga berdasarkan usulan dari kedua sahabatnya. Ayu kan minta sepucuk senja, jadi kado yang tepat untuknya sepucuk mawar di tengah senja. Meskipun begitu, ia datang lebih awal karena takut terlambat. Ia tahu betul Ayu tak suka cowok yang kerjaannya buat orang menunggu. 

Sekali lagi, arlojinya kembali ditatap. Ia sungguh tak sabar memberikan dua tangkai mawar itu padanya. Apalagi hari ini ia sama sekali tak bertemu dengan Ayu karena libur sekolah. Ia hanya memberinya pesan singkat untuk bertemu di tepi telaga pada waktu senja.

Ewin lalu menggenggam dua tangkai mawar tersebut dan menatapnya. “Ayu, mengapa sulit sekali mendapatkan dirimu? Kau tahu, aku seperti kayu lapuk yang dimakan rayap jika kau tak di sisiku. Ya, aku juga tidak mengerti mengapa hati ini seakan lemah tanpamu.” Ewin membuang napas berat.

Tiba-tiba matanya langsung beralih di ujung langit bagian barat. Sebuah warna merah kekuning-kuningan perlahan muncul lalu membuat pantulan ke telaga dan itu semakin indah terlihat. Ia pun mulai tampak resah karena seharusnya Ayu telah berada di sampingnya sekarang. Nyatanya, suara bak lantunan biola Ayu bahkan belum terdengar.

Ia periksa kembali arlojinya untuk memastikan waktu tak habis membuntutinya. Pukul lima tiga puluh lima, sinar redup keunguan itu bakal segera menghilang, Ayu belum juga datang. Lalu, dihubunginya nomor Ayu agar bisa tahu keberadaan wanita yang paling dicintainya dengan diam itu.

Tut, tut, tut! Malah sibuk. Ewin semakin cemas hati. Tak biasanya cewek paling anti telat malah setelah ini dan tak mungkin juga sih ia tiba-tiba membatalkan janji tanpa pemberitahuan dahulu. Ayu bukan cewek segila itu.

Bahkan pernah sekali waktu ketika Ayu mengajak Ewin janjian ketemu di tepi telaga yang sama saat awal-awal persahabatan mereka, untuk memperkenalkan betapa cintanya ia pada senja. Saat itu, Ayu terlambat datang walau hanya sekitar dua menit. Ia langsung meminta maaf berkali-kali dengan penuh penyesalan, bahkan air matanya sempat menetes.

“Mengapa kau menangis?” kata Ewin kala itu.

“Aku telat! Aku telat!” rintih Ayu.

“Tak masalah. Kau kan cuma telat sekitar dua menit.”

“Dua menit? Menurut aku, waktu adalah salah satu hal paling berharga di dunia. Membuang-buang waktu walau hanya semenit atau dua menit, sama saja telah membuang banyak kesempatan untuk bahagia.” Kala itu, Ayu memelototi Ewin dalam-dalam karena dianggap merendahkan waktu.

Namun sekarang, Ayu malah sangat telat. Meskipun begitu, Ewin terus berpikir positif. Boleh jadi, ia punya urusan mendadak atau lagi ketemuan dulu dengan Sofyan. Tidak mungkin kan cowok yang paling dicintai Ayu dengan dalam itu tak memberikan kejutan teristimewa.

Sekian kalinya, Ewin menatap arloji lagi. Pukul lima lima puluh empat, merah kekuning-kuningan di ujung barat sana semakin menyala. Mentari yang menggantung sudah ingin tenggelam. Lalu, diletakannya bunga mawar yang sudah hampir mengering di sebelah kanannya. Ia masih setia menunggu.

“Ewin!” Suara yang tak asing terdengar di ujung kiri berteriak memanggilnya. Lantas, wajah Ewin segera dipalingkan ke kiri.

Perlahan, suara desahan yang memburu terdengar megap-megap. Langkah kaki jenjang itu pun juga mulai semakin mendekat. Akhirnya cewek yang sedari tadi ditunggunya datang. Rambutnya yang panjang dikucir.

Ayu langsung menunduk sesal melihat Ewin, ia tahu kalau telah datang terlambat. “Ewin, maafkan aku karena sudah telat! Aku memang bukan sa---“

“Cukup, Ayu!” Ewin meletakkan dua jarinya ke bibir Ayu. “Kau tak perlu minta maaf lagi. Waktu memang tak boleh dibuang percuma, namun ada kalanya waktu harus terbuang untuk memastikan orang lain bahagia.”

Ayu masih menunduk, memang karena menyesal tapi kalimat Ewin membuatnya malah tak mengerti. Membuat orang lain bahagia? Siapa? Sofyan? Entahlah!

“Pasti kau telah menunggu begitu lama, bukan?” tanya Ayu masih terus menyalahkan diri.

“Ah, tidak! Aku baru sebentar di sini. Hanya saja, mungkin aku yang terlalu cepat sampai kau keduluan deh.” Ewin berusaha membuat Ayu tersenyum, tapi entah kenapa senyumannya masih belum tampak. “Ya sudah, duduk di samping aku, yuk!” Ewin mempersilahkan dan Ayu mengikuti.

“Maaf, ya!” Ayu mengiba. “Sebenarnya tadi teman-temanku tiba-tiba datang ke rumah dan memberikan kejutan ulang tahun. Aku tidak mungkin kan meninggalkan mereka. Terus, aku coba hubungi kau malah sibuk, mau di-sms malah gagal terus.”

“Tak perlu menyesal begitu. Aku kan sudah bilang kalau baru datang juga. Eh, sampai lupa. Selamat ulang tahun, ya!”

“Kau memang benar-benar baik sama aku.”

“Biasa saja, tuh!” Ewin merendah.

‘Eh, kau tahu nggak?”

“Yah, enggak! Kau kan belum cerita.”

“Ihh, kau ini!” Ayu langsung memukul jidat Ewin, seperti kebiasaannya tiap kali sebal. Namun setelah itu, senyumannya kembali mengembang. “Tengah malam tadi saat pukul dua belas tepat, Sofyan datang ke rumah dan memberiku kejutan paling hebat. Aku senang sekali saat dia mencium keningku dan memelukku erat.”

“Terus?” tanya Ewin dengan muka datar setelah mendengar kalimat terburuk sepanjang masa.

“Yah, dia sih belum memberiku hadiah. Katanya hari ini, tapi sampai sekarang juga belum datang. Namun, aku yakin pasti hadiahnya jauh lebih hebat,” ucap Ayu berbangga diri.

“Wah, selamat ya! Aku turut senang mendengarnya. Pasti kau sangat beruntung mendapatkan dia, bukan?”

“Ah, seharusnya dia yang beruntung mendapatkan aku, habisnya aku cantik sih. Heheh!” Ayu terkikih. “Oh iya, mana sepucuk senjaku? Kau janji kan ingin memberikannya sebagai hadiah ulang tahun?”

Ewin terkejut. Ia hampir lupa keberadaan dua tangkai mawar yang ada disebelah kanannya itu. Lalu, diliriknya dan ternyata sudah sangat mengering. Waduh, bisa jadi hadiah paling buruk selama abad ke-21, nih. Ewin membatin.

“Tentu saja! Aku tidak mungkin lupa.” Ewin tersenyum kecut sambil perlahan mengangkat dua tangkai mawarnya. Ayu ikut tersenyum menanti hadiahnya.

Namun tiba-tiba telepon seluler Ayu berdering. Ia segera meraih telepon selulernya di saku. Ternyata nama Sofyan terlihat menelepon. “Tunggu! Aku mau angkat telepon dulu.”

Setelah diangkat dan suara di ujung telepon mulai terdengar luruh, Ayu terlihat kaku dan ada segores senyum di bibirnya namun setetes bening juga sontak membasahi pipinya. Ewin pun langsung meletakkan kembali dua tangkai mawar itu karena kaget melihat Ayu yang mendadak menangis.

“Ada apa, Ayu?” tanya Ewin bingung.

Bersambung!