Jumat, 10 Juli 2015

Teka-Teki Pembunuhan

Teka-Teki Pembunuhan
Oleh: Justang Zealotous

Pria berpakaian hitam putih dengan rambut dianyam ke atas dahi sedang berdiri di depan sidang. Dia diadili atas kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, Martha.

Pria bernama Refan itu terus menyangkal akan tuduhan yang dilemparkan padanya. Bahwasanya bukan dia yang telah membunuh Martha, bahkan tak tahu menahu tentang pembunuhan tersebut.

“Kenapa kau terus menyangkal? Bukankah sudah pasti dari pesan singkat yang masuk tentang kau akan datang ke rumahnya pada pukul sepuluh malam,” tuduh sahabat Martha, juga sebagai saksi persidangan. Wanita rambut ikal panjang itu sengit mendakwa Refan. Dia terlalu kesal akan kematian sahabat karibnya.

“Benar. Aku memang mengirim pesan singkat itu. Tapi—“

“Tapi apa? Kau masih mau menyangkal?” potong sahabat Martha.

“Izinkan terdakwa menjelaskan terlebih dahulu!” seru hakim sidang.

Keringat Refan mulai bercucur pelan. Dia berkali-kali menelan ludah sambil sekali-kali bernapas pendek. Lalu, dia melanjutkan kembali ucapannya, “Tapi, aku terlambat datang karena tiba-tiba bensin motorku habis. Aku bingung harus beli di mana karena pom bensin lumayan jauh. Kucoba untuk kirim pesan ke teman yang rumahnya dekat dari pom bensin, tapi baterai ponselku habis—“

“Aishhh, palingan kamu mengada-ada tentang itu. Apa susahnya, sih, jujur?” potong sahabat Martha lagi. Dia kelewat emosi.

“Sssttt!” tegur hakim sidang, membuat sahabat Martha membisu.

Refan mendesah lagi, lalu melanjutkannya, “Kemudian aku mengecas ponsel. Setelah nyala kembali, segera kuhubungi Jefri, teman yang kumaksud tadi. Dia meng-iya-kan. Lama sekali dia datang, katanya macet. Aku pun berangkat ke rumah Martha. Tapi, aku yakin sudah sangat telat.”

“Kau tahu? Hasil penyelidikan menunjukkan sidik jarimu banyak ditemukan di pisau yang kaupakai menghilangkan nyawa sahabatku. Itu semua sudah jadi bukti,” tegas sahabat Martha lagi.

“Setelah tiba di rumahnya yang ternyata pukul sebelas. Aku sudah menemukan dia terkapar bersimbah darah di lantai dengan pisau sudah tertancap di pe—“

“Kau pasti penulis ulung, ya?” potong sahabat Martha lagi, “Karanganmu sangat luar biasa hingga buat tercengang. Tepat saat datang, memang sudah kulihat kau menggenggam pisau yang masih tertancap di perutnya. Dan, kau tahu juga? Aku masih punya saksi lagi.”

Saksi yang dimaksud langsung muncul setelah dipanggil.

“Bisa kaujelaskan apa yang kautahu soal kasus ini?” tanya hakim.

“Sekitar pukul 10.30, aku melihat seseorang dengan pakaian serba hitam melewati pagar rumah korban,” jelas saksi tersebut.

“Bisa dijelaskan ciri-cirinya yang lebih detail!” pinta hakim.

“Tinggi sekitar 175 cm, badan tidak kurus juga tidak gemuk, seperti penutup ninja yang menutupi wajahnya. Pakai motor skuter biru menyala.”

“Skuter biru?” kaget Refan. Matanya melotot tajam, mukanya memerah penuh emosi.

“Ada apa? Itu motor kamu? Hah?” tanya sahabat Martha penuh selidik.

“Bukan! Itu motor Jefri. Apa alasannya terlambat itu sebenarnya karena habis membunuh Martha? Sialan!” ungkap Refan.

Jefri segera dipanggil masuk ke ruang sidang. Kebetulan, dia sedang menemani Refan.

“Bukan! Bukan aku yang membunuhnya. Aku memang ingin membunuhnya tapi ternyata dia lebih dulu bunuh diri. Sebelumnya aku menguping, dia bunuh diri karena kesal setelah menemukan foto mesra Refan dengan Tina, sahabatnya sendiri,” jelas Jefri sambil mengap-mengap.

Sahabat Martha dan Refan langsung bertatap muka.

Kamis, 09 Juli 2015

Temukan Passion untuk Raih Kesuksesan

Temukan Passion untuk Raih Kesuksesan
Dalam acara Workshop and Training di GRACE (Greenfield Language College) kemarin (9/7/15) bersama Bunda Ariani, S.Pd., seorang teacher dan trainer yang sudah berpengalaman, kami sempat berbicara soal "passion".

What is Passion?

Apa itu passion? Dalam Bahasa Inggris, passion bermakna nafsu, keinginan besar, atau kegemaran. Passion juga bisa bermakna suatu hal yang dilakukan dengan cinta, penuh semangat, dan tanpa beban. Makna lain dari passion itu berarti suatu emosi yang kuat yang dimiliki oleh kita semua yang ketika dilakukan akan menimbulkan pekerjaan yang bermakna.

Why do You Need to Know Passion?

Kenapa harus tahu passion? Menurut Richard St. John, passion is lead to success. Passion itu memimpin kita menuju kesuksesan. Banyak orang di dunia ini yang telah 'tersesat' karena melakukan suatu pekerjaan tanpa mengikuti passion mereka. Maksudnya, pekerjaan yang mereka lakukan bertahun-tahun adalah karena tuntutan profesi dan mengejar materi, bukan yang datang secara 'ajaib' melalui hati mereka. Hingga banyak yang membuat orang menjadi stres saat merasa terbebani dengan pekerjaan mereka.

Ada suatu kisah, seorang chef wanita yang bekerja di hotel berbintang. Masakan chef itu enak dan digemari banyak orang. Gaji yang diperoleh juga begitu mumpuni. Suatu hari, dia tidak sengaja lewat di Bantar Gebang, yang penuh dengan anak jalanan. Dilihatnya beberapa anak yang sedang memulung di gunung sampah, ibu-ibu yang menggendong bayinya dengan sarung yang lusuh, pemuda-pemuda yang menenteng gitar klasik pun gendang untuk mengamen, hingga beberapa anak yang sedang melipat-lipat buku yang berserakan di jalan untuk dijadikan pesawat kertas.

Tiba-tiba, hati chef wanita itu tergerak. Dia menuju ke anak-anak yang sedang main pesawat-pesawatan. Lalu, dia iseng bertanya, "Kamu bisa baca buku ini?" Ditunjuknya salah satu buku bacaan yang tergeletak.

Anak yang ditanya menatap chef heran. "Tidak. Aku tidak bisa membaca."

"Apa kamu ingin belajar?" tanya chef yang membuat anak-anak di tempat itu semakin antusias. Mereka segera menjawab, "Ya, tentu mau." Chef kemudian mengajari mereka membaca. Chef merasa senang sekali. Chef mengajari anak-anak itu hingga malam menjelang. Lalu, chef segera pulang.

Begitupun keesokan harinya. Saat di dapur hotel, pikiran chef terus tertuju pada anak-anak di Bantar Gebang. Jiwanya seakan di tempat tersebut. Setelah jam kerja berakhir, dia segera menuju ke Bantar Gebang, menemui anak-anak yang kemarin, dan mengajari mereka kembali membaca. Kali ini, dia bahkan lupa waktu hingga mengajari anak-anak tersebut hingga malam, padahal dia masih punya jam malam di hotel.

Setelah masuk ke dunia anak-anak, Si Chef mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya di hotel sebagai chef, yang meskipun gaji mumpuni tapi dia merasa tersiksa karena hatinya bukan di situ. Dia lalu memutuskan untuk menjadi guru masak, karena hatinya memang dibawa untuk mengajar banyak orang.

Berdasarkan kisah tersebut, saat kita bekerja tanpa mengikuti passion, meskipun mungkin dapat menopang ekonomi tapi bekerja tanpa menggunakan hati akan membuat kita mudah tersiksa dan stres. Sebenarnya ada banyak kisah orang yang 'tersesat' karena tidak mengikuti passion mereka. Seperti seorang dokter yang ternyata lebih tertarik sebagai pemain biola, pengacara yang ternyata lebih tertarik pada pendidikan. Maka dari itu, temukan passion kalian demi meraih kesuksesan. INGAT! Saat kita bekerja dengan mengikuti passion maka semua akan mudah dan lancar.

How to Find Passion?

Bagaimana menemukan passion? Passion itu berasal dalam diri kita masing-masing. Passion ialah memberi bukan menerima. Menemukan passion itu adalah kamu sendiri. Namun, hal yang paling penting untuk menemukan passion ialah silahkan jawab pertanyaan berikut:
  • Hal apa yang paling suka dilakukan hingga dapat membuat kamu lupa waktu, namun sesuatu itu bermakna bagi kamu dan orang lain?
  • Hal apa yang saat dilakukan, kamu rela tidak dibayar demi melakukan itu, namun bermanfaat bagi banyak orang?
  • Hal apa yang membuat kamu lebih hidup saat melakukannya, namun berguna bagi banyak orang?
Berdasarkan pertanyaan tersebut, passion itu sesuatu yang paling senang kita lakukan, tulus melakukannya, tidak ada beban sama sekali, dan bermanfaat bagi banyak orang. Masih bingung apa passion kamu? Silahkan jawab dengan hati 27 pertanyaan cara menemukan passion. Download pertanyaannya DI SINI.

Lantas, passion saya apa? Setelah mengetahui apa itu passion dan menjawab beberapa pertanyaan untuk menemukan passion. Rupanya passion saya adalah dalam dunia tulis menulis. Saya sangat senang menulis atau mengarang. Saya berharap bisa menjadi professional author. Terkadang, ketika menulis, saya bisa sampai lupa waktu, membuat saya lebih hidup, dan bahkan saya rela untuk tidak dibayar demi menulis.

Nah, apa passion kamu?

Sabtu, 04 Juli 2015

Kalah? Jangan Mengalah Apalagi Menyerah!

Kalah? Jangan Mengalah Apalagi Menyerah!

Kalah menang itu hal wajar dalam setiap pertandingan. Ini adalah kalimat yang seringkali kita dengarkan. Itu memang benar sekali. Kalau tidak menang, ya, kalah. Makanya sebelum nekat ikut suatu pertandingan, hal yang mesti dipersiapkan ialah mental. Apakah siap untuk kalah? Bagaimana saat menang? Semua itu harus siap.

Bagi penulis pemula (baca: termasuk saya), mengikuti berbagai event itu memang salah satu penunjang agar mendapat banyak ilmu, sekaligus pengalaman. Sayangnya, saat memilih event, kita terlalu fokus dengan lombanya hingga tidak sadar apakah karya kita sudah baik atau tidak. Bahkan, mungkin banyak di antara kita (baca: sekali lagi termasuk saya) lolos dari berbagai event dan bahkan sertifikat bertebaran di mana-mana. Tapi, tulisan kita sendiri masih begitu saja, tidak ada peningkatan karena sudah menganggap keren setelah lolos dan dapat sertifikat.

Kita mesti tahu, kemenangan bisa menjadi awal kehancuran, jika terlalu bangga akan kemenangan itu. Banyak orang setelah menang, mereka akan menganggap dirinya sebagai juara, orang hebat, dan sudah tidak diragukan lagi. Padahal, setiap pemenang adalah pembelajar. Walaupun menang, tapi belajar pun harus tetap jalan.

Begitupun saat kalah, kekalahan bisa menjadi awal kehebatan, jika mampu belajar dari kekalahan itu. Saat kalah, banyak orang malah lari dari kekalahan mereka, putus asa, menyerah, bahkan yang lebih fatal, gantung diri. Padahal seseorang dapat menjadi benar setelah salah.

Saya sering ikut event kepenulisan baik indie maupun mayor. Tiap kali ikut indie, tulisan saya selalu lolos dan dapat e-sertifikat. Saya bangga dan senang sekali. Tapi, setelah melihat tulisan saya, sepertinya kurang peningkatan dan masih stay di posisi yang sama. Makanya saya perlahan meninggal zona nyaman saya dan mulai ikut mayor atau event dengan seleksi ketat, tulisan saya malah lebih sering TIDAK lolos. Awalnya, saya kecewa. Apa yang salah?

Dari ketidaklolosan tersebut, akhirnya saya sadar bahwa tulisan saya memang butuh peningkatan. Saya tidak mengalah apalagi menyerah. Saya belajar dari tulisan saya sendiri, tulisan orang lain, juga tulisan yang sudah banyak dimuat. Saya terus berusaha untuk ikut berbagai event. Akhirnya, perlahan tulisan saya mulai berubah, dengan seleksi yang ketat dan dengan pesaing yang banyak, cerita duet yang saya usung malah lolos dan diterbitkan penyerbit mayor. Meskipun begitu, saya sadar sekali lagi pemenang adalah pembelajar. Kemenangan adalah saat belajar, begitupun saat kalah, motivasi diri seharusnya malah lebih besar.

Intinya, saat kita selalu menang dan lolos suatu event, apa yang bisa diperbaiki jika kesalahan sendiri tidak mampu kita dapatkan. Namun, ketika kita telah kalah atau gagal suatu event, maka kita akan berusaha mencari alasan "Kenapa kalah atau gagal?", nah dari hal itu kita akan mulai belajar dan memperbaiki diri.

Satu hal yang perlu diingat sebelum mengakhiri tulisan ini,
Tidak ada orang hebat yang banjir pujian, mereka lebih banyak dapat kritikan daripada orang biasa.

Jumat, 03 Juli 2015

Pria dan Bunga Mawar dalam Genggaman

Pria dan Bunga Mawar dalam Genggaman
Oleh: Justang Zealotous

Bunga yang terus kugenggam sedari tadi terjatuh. Kelopaknya berhamburan, bentuknya tak lagi sempurna. Setitik senyum pada pita menghilang, dipudarkan kegelisahan.

Bulir air mata tak tahan basahi pipi. Tak lagi terseka pada gerangan tangan yang rela. Semua hilang, rasa dan cinta itu. Semua yang telah lama kusimpan sejak pertama lihat dia di lantai dansa.

***

“Aku suka bunga tapi kau tak akan menemukannya di sini. Cepat datang, ya!” ucap wanita itu lewat telepon.

“Aku pasti ke sana dengan bunga mawar dalam genggaman dan tak mungkin kulewatkan momen kedua ini. Masih Kafe Armenda, kan? Tunggu aku!” Telepon itu segera kumatikan tanpa basa basi. Aku terlalu senang.

Pakaian nuansa biru abu-abu dengan manik-manik berkilauan telah terpasang. Celana jin tebal tak terlalu ketat jua kupasang. Minyak rambut dan semprotan parfum sana sini. Aku tak bisa menjadi makhluk biasa untuk malam luar biasa.

Kendaraan butut, setidaknya hampir mirip Lamborgini zaman batu, segera kuhampiri yang tepat terparkir di tepi jalan. Kukendarai dengan super hati-hati, namun tak begitu lamban juga.

Aku tak sabar untuk bertemu kedua kalinya di lantai dansa. Bukan karena apa, cuma dia yang kukenal sebagai pedansa terbaik di kota seribu kafe. Dan, aku bakal berdansa dengannya. Suatu kebahagiaan terbesar yang pernah ada dalam hidupku. Selain itu, aku diam-diam menaruh hati padanya.

Setelah tiba, rupanya ada penjual bunga di depan kafe. Bunga mawar dengan kelopak merah menyala dan semerbak harumnya yang mewangi. Tepat sekali seperti janji akan membawakannya.

Kubuka pintu kafe dengan perasaan yang beradu, senang juga gelisah. Aku senang karena bakal dansa lagi dengannya. Gelisah, ya, aku belum bisa menjelaskan mengenai kata ini, mungkin cukup gelisah tak bisa maksimal untuknya.

Setelah pintu kafe terbuka dan suara musik nostalgia ala tahun 90-an langsung memburu telinga, sudah ada puluhan orang yang meramaikan tempat itu. Kuarahkan ke pandangan segala arah, wanita itu tak terlihat. Apa dia sungguh datang? Aku sangat gelisah kini.

Tiba-tiba seorang wanita dengan topeng muka di wajahnya langsung maju ke lantai dansa. Dari postur tubuh yang lentik, jelas sekali dia yang ingin kutemui. Senyumannya mengembang dan menunjuk ke salah satu arah, kepadaku. Aku membunga.

“Kau!” teriaknya.

“Aku?” tanyaku dengan perasaan sangat gugup. Dia menggerakkan jemarinya memanggil.

Lalu, aku segera melangkah. Satu dua langkah, segera terhenti. Bukan aku. Dia tak menunjuk ke arahku, ada seorang pria gagah dari belakang yang melewati langkahku. Pria itu bergegas ke lantai dansa.

“Hentikan musiknya!” pinta lelaki itu sembari sebuah kain dari balik panggung
mengiringinya turun. Ada tulisan di sana, ‘Will you marry me?’.

***

Aku tak sanggup melihat ini semua. Air mataku masih berlinang. Bunga tadi barangkali sudah terinjak di sana. Aku tak peduli dan akan segera pulang. Cukup buat aku terluka lebih dalam.

Segera kucari ponsel di saku celana untuk menelepon teman agar dia menjemputku. Setidaknya menenangkan diri bersamanya. Ternyata ada pesan singkat yang dari tadi masuk. Aku membukanya. ‘Bukan Kafe Armenda. Tapi, Kafe Armenia. Segera datang dan dansa bersamaku.’