Sabtu, 09 Desember 2017

Cerma: Gara-Gara Gigi Tanggal karya Justang Zealotous

Cerma: Gara-Gara Gigi Tanggal karya Justang Zealotous
[Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 8 Desember 2017]


Semalam aku bermimpi lagi, mimpi yang sama dua malam yang lalu, gigiku tanggal. Aku tidak tahu maksud dari mimpi-mimpi itu, tapi aku juga tidak ingin menjadikan bunga tidur sebagai pengacau hari-hariku.
Aku tetap menjalani hari seperti biasa. Bangun kesiangan, dan langsung buru-buru ke kamar mandi. Siram sebentar, pakai sampo sebentar, pakai sabun, siram lagi, selesai. Ibu kembali mengomel, seperti yang lalu-lalu, "Fio, kamu kesiangan lagi? Bagaimana nilai rapormu bisa naik kalau ke sekolah selalu telat?"
Aku tidak mengindahkan kata-kata Ibu, aku segera meluncur ke kamar, dan ganti baju, seragam osis. Setelah itu, nasi goreng yang disediakan Ibu sedari tadi kulahap habis. Dan tak lama, mobil milik ayah Putri sudah terparkir di depan rumah. Putri dan ayahnya memang baik. Mereka tidak pernah bosan mengantar-menjemputku ke sekolah. Aku senang. Selain hemat biaya, aku pun tak perlu takut telat pergi ke sekolah, seperti kata Ibu.
Dalam perjalanan, Putri tiba-tiba memberiku buku tentang arti mimpi. Kenapa harus kebetulan begini? Aku dengan ogah menyambut pemberian Putri.
"Baca ini, Fio. Aku pernah bermimpi dan melihat artinya di buku ini, dan hasilnya lumayan benar," kata Putri antusias.
"Aku tidak percaya arti mimpi. Kalaupun benar, itu pasti cuma kebetulan."
Putri tetap menyerahkan buku itu dan kini menaruhnya di samping aku duduk. Aku terpaksa membiarkannya. Aku sekarang dalam mobil milik ayahnya. Hal terbodoh jika aku menolaknya mentah-mentah, dan bahkan membuat hati perempuan manja itu terluka.
Sialnya, buku yang kini teronggok itu malah terus menggodaku. Aku seolah mendengar bisikan dari lembaran-lembaran buku itu. Baca aku! Baca aku!
Semakin aku mencoba untuk melupakan teror buku itu, keinginan kuat untuk membacanya semakin menyala. Perlahan, kuhampiri buku itu. Kusentuh sampul depannya, kuraba seperti meraba bulu halus kucing yang membinar-binarkan matanya.
Baiklah, aku akan membacanya. Ini hanya buku. Buku memang untuk dibaca. Jika aku akhirnya mengetahui makna dari mimpi-mimpiku berdasarkan pendapat orang melalui buku ini, itu tidak akan mengubah apapun dari hidupku. Aku hanya akan menjadikannya sebagai hiburan.
Lembaran kedua terbuka. Di sana ada daftar isi, aku segera mencari kata kunci gigi. Dapat. Aku sampai di halaman dua puluh tiga. Sudah ada belasan mimpi tentang gigi. Gigi goyang, gigi hilang, gigi jatuh, gigi sakit, hingga gigi tanggal. Mataku sontak saja melotot pada bagian tentang gigi tanggal itu. Aku masih mengingat mimpinya dengan jelas, mimpi yang sudah terulang dua kali, gigi geraham bawahku tanggal. Dan maknanya, bakal ada anggota keluarga yang meninggal.
Gila. Buku ini berhasil membuat napasku memburu. Buku itu pun tanpa sadar kulempar begitu saja, terlebih saat Putri menangkap basah diriku telah membaca bukunya.
"Kaubaca juga kan, Fio?" goda Putri.
Aku tersenyum, ketir.
Sepanjang hari ini, isi dari buku itu terus terngiang di ujung telingaku. Kenapa jadi begini? Aku sudah memaksa diriku untuk melupakan mimpi dan artinya itu tapi aku masih saja mengingatnya.
Beberapa cara pun aku lakukan agar lepas dari isi buku tentang arti mimpi itu. Mendengar musik, misalnya. Baca buku komedi. Atau berceloteh dengan kawan-kawanku di sekolah. Nihil. Kalimat-kalimat itu tetap bergerak-gerak di atas kepalaku.
"Kamu mikirin apa, Fio?" Putri mengagetkanku. Selama di kantin, sambil mengaduk-aduk gorengan yang sudah dicampur sambal tanpa sekalipun aku masukkan ke dalam mulut, aku terus-terusan melamun.
"Tidak," kataku. "Aku tidak memikirkan apa-apa, Put."
"Kalau begitu makanlah. Sebentar lagi jam istirahat bakal habis," sarannya.
Aku menyantap gorengan itu, pelan-pelan, sementara pikiran-pikiran tentang arti mimpi masih tetap terbayang. Begitu pula ketika jam pelajaran Matematika, aku yang duduk di bangku kedua dari depan masih memikirkan arti mimpi itu. Sampai-sampai Ibu Erti menegurku. Dia memintaku mengerjakan tugas tentang aljabar di papan tulis.
Di sekolah, aku terkenal pintar. Namun hari itu, perhitungan aljabar yang paling sederhana yang diberikan Ibu Erti jadi terlihat sulit. Ini semua gara-gara buku arti mimpi pemberian Putri. Aku jadi kesal sendiri.
"Kalau kamu masih mau belajar Matematika, jangan suka melamun," semprot Bu Erti. Aku mengangguk.
Sepulang sekolah, Putri kembali bertanya, "Kamu baik-baik saja kan, Fio?"
"Maksud kamu, Put?"
"Aneh saja. Seharian ini, kamu terus melamun. Biasanya kan kalau di sekolah, kamu yang paling heboh."
Aku diam sebentar. Kulempar pandanganku ke luar jendela mobil. Di sana langit terlihat agak mendung. "Tidak ada masalah kok, Put."
"Ini pasti karena mau hujan," celetuk Putri tiba-tiba.
"Apa hubungannya?"
"Cuaca itu suka mendukung suasana hati seseorang, tahu." Putri tertawa. Aku jadi ikut tertawa karenanya. "Kalau kamu punya masalah. Cerita saja sama aku, Fio."
Aku benar-benar beruntung punya sepupu, sekaligus sahabat seperti Putri. Dia sangat baik, meskipun sifat manjanya masih kadang mengusikku. Tapi wajar, Putri anak tunggal. Dia pasti jadi putri mahkota.
Tiba di rumah, perasaanku makin kalut saja. Kulangkahkan kaki gontai menuju ruang depan. Di sana ada Ibu. Dia sedang melanjutkan rajutan wol yang dikerjakannya sejak tiga hari yang lalu. Tiap kali aku bertanya sedang merajut apa, Ibu hanya tersenyum. Paling banter baju, pikirku. Ibu memang akhir-akhir ini suka bikin baju rajutan untuk adikku yang masih mungil itu.
"Langsung makan, Nak," teriak Ibu, tapi pandangannya tetap tertuju pada kain-kain wol itu.
Mendengar teriakan Ibu, entah, aku makin berdebar. Aku benar-benar tidak menyangka sebuah mimpi dan arti tentangnya dalam buku membuatku tak keruan begini. Ada anggota keluarga yang meninggal, katanya. Siapa dia?
Aku sudah berusaha untuk tidak mempercayai itu semua, tapi aku tidak bisa. Pikiran-pikiran aneh masih terus menghantuiku. Padahal aku tahu sendiri, kematian itu ada di tangan Tuhan bukan di lembaran-lembaran buku yang memaknai sebuah mimpi.
Jika arti mimpi itu ternyata benar, sekali lagi, siapa anggota keluarga yang akan meninggal. Kuperhatikan Ibu bersama rajutannya, aku kelu. Aku tidak mampu membayangkan kalau Ibu-lah yang dimaksudkan arti mimpi itu. Hidupku pasti akan semakin kacau, sementara Ayah sudah lebih dulu meninggalkan kami. Lagi pula, ada banyak dosa yang kulakukan pada Ibu. Aku juga masih terlalu muda dan belum bisa memberikan apa-apa untuk Ibu.
Mendadak, air mataku merintik. Aku lari memeluk Ibu. Dan perempuan beruban itu tampak heran melihatku.
"Ada apa, Nak? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ibu. Suaranya terdengar cemas sekali.
Tidak kujawab. Aku hanya menangis dalam rebaan Ibu.
"Fio. Fio. Bangun. Apa yang terjadi denganmu?" Ibu terlihat makin khawatir.
Kuangkat kepalaku dan berkata, "Maafkan aku, Ibu." Dan kulihat Ibu malah tersenyum padaku.
Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku tidak lagi mendengar omelan Ibu sambil menggedor-gedor pintu kamarku. Mungkin, Tuhan sedang menegurku melalui mimpi yang konyol sambil menuntunku untuk membaca buku tentang arti mimpi agar aku tidak membuat Ibu marah-marah lagi.
"Kalau begini kan, bagus, Nak," kata Ibu. "Ibu yakin nilai rapormu bakal naik tahun ini."
Aku tersenyum. Kupeluk Ibu segera. Lama sekali, sampai dering telepon membuat Ibu melepaskan pelukanku. Ibu lalu bicara dengan orang di seberang sana. Beberapa detik, raut muka Ibu berubah. Ayah Putri meninggal, kabarnya.(*)
Watampone, 2017


Related Story for Cerma ,Media

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL